1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Merkel: Eropa Tak Lagi Bisa Andalkan Inggris dan AS

29 Mei 2017

Kanselir Jerman Angela Merkel menyebutkan Eropa tak lagi bisa mengandalkan Amerika Serikat dan Inggris. Pernyataan itu disampaikan pasca pertemuan NATO dan G7.

https://p.dw.com/p/2djdb
Italien G7-Gipfel auf Sizilien
Foto: picture alliance/dpa/M. Kappeler

Komentar Kanselir Jerman Angela Merkel tersebut muncul setelah pertemuan kontroversial dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di pertemuan puncak NATO dan G7. Sengketa terjadi seputar isu pemanasan global, pertahanan dan perdagangan bersama.

Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan pada hari Minggu (28/05) bahwa Eropa harus menempa jalannya sendiri ke depan, karena Amerika Serikat dan Inggris tidak lagi menjadi mitra terpercaya.

"Masa-masa ketika kita dapat sepenuhnya saling mengandalkan satu sama lain, sedikitnya telah berlalu. Itulah yang saya alami dalam beberapa hari ini," ujar Merkel saat berada dalam reli kampanye di München.

Rujukan Merkel atas ucapannya tadi adalah pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 yang kontroversial di Taormina, Sisilia, Italia. KTT G7 berakhir hari Sabtu (27/05) dengan terbaginya kekuatan demokratik dunia. Terutama ketika suara mereka terbelah menjadi "enam lawan satu," soal ancaman serius yang ditimbulkan oleh pemanasan global.

Meskipun Inggris setuju dengan sekutu Eropanya mengenai perlunya memerangi perubahan iklim, keputusan Inggris meninggalkan Uni Eropa berarti juga Inggris bakal berjalan dengan caranya sendiri dalam menangani berbagai masalah.

Presiden AS Donald Trump, yang dalam kampanyenya menyangkal pemanasan global - dengan menyebutnya sebagai akal-akalan yang dilakukan Cina - menolak seiring jalan dengan enam mitranya dalam menegaskan kembali dukungan mereka terhadap Kesepakatan Paris tahun 2015 soal perubahan iklim. Kesepakatan itu bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca secara bertahap, guna menahan laju kenaikan suhu global.

"Untuk alasan itu," lanjut Merkel, "saya hanya bisa mengatakan: Kami, warga  Eropa benar-benar harus menyadari bahwa takdir kita berada di tangan kita sendiri."

Tentu, hal itu harus dilakukan dengan semangat persahabatan dengan Amerika Serikat dan Inggris, ujarnya: "Tapi kita harus berjuang sendiri untuk masa depan kita, sebagai bangsa Eropa, atas takdir kita tersebut."

Hubungan Perancis-Jerman

Menjelang akhir pertemuan, dia mengatakan, dibutuhkan penekanan khusus terhadap hubungan hangat antara Jerman dengan Presiden Prancis yang baru terpilih, Emmanuel Macron.

Tapi pemanasan global bukanlah satu-satunya masalah di mana Trump berselisih dengan rekan-rekannya di Eropa. Sebelum pertemuan puncak G7, dia berada di Brussel untuk bertemu dengan 28 kepala negara NATO. Trump tampak menolak dalam menyokong Pasal 5 Piagam NATO, yang menjamin bahwa negara-negara anggota akan membantu negara anggota lain dalam aliansi itu jika mereka diserang.

Keengganan ini sangat mencolok mengingat Trump turut serta dalam peluncuran tugu peringatan para korban serangan teroris 11 September 2001. Satu peristiwa besar di Amerika yang memicu klausul pertahanan bersama NATO tersebut.

Saat berada di Brussels, Trump juga mengkritik Jerman dengan menyebut praktik perdagangannya "buruk, sangat buruk" dan mengeluh bahwa terlalu banyak mobil Jerman yang dijual di AS.

Peristiwa hari Minggu (28/05) tersebut memicu Merkel memperbarui hubungannya dengan Partai Uni Kristen Sosial (CSU), yang merupakan koalisi partainya, Uni Kristen Demokrat (CDU), menjelang pemungutan suara parlemen bulan September 2017.

Jajak pendapat menunjukkan kanselir yang telah berkuasa sejak 2005 itu  kemungkinan akan terpilih kembali untuk masa jabatan keempat.

Schulz, saingan Merkel: Persatuan Eropa jadi jawaban untuk Trump

Pemimpin Partai Sosial Demokrat (SPD) dan saingan Merkel dalam pemilu, Martin Schulz, tampaknya menggemakan kata-kata kanselir tersebut pada hari Minggu(29/05), dengan menyerukan kerjasama yang lebih erat antara negara-negara Eropa menyusul kebuntuan pertemuan di G7.

"Eropa adalah jawabannya," kata Schulz. "Kerjasama Eropa yang lebih dekat di semua lini adalah jawaban terhadap Donald Trump. Yang terpenting, kita tidak bisa membiarkan diri kita ditaklukkan pada kebijakan Trump atas logika persenjataan kembali."

Schulz, yang menjabat sebagai presiden Parlemen Eropa dari tahun 2012 sampai 2017, mengatakan negara-negara Eropa harus mengambil pendekatan yang menentukan dalam berurusan dengan Trump, yang penampilan dan sikapnya di Brussels, Belgia dan Taormina, Italia -- bagai seorang diktator.

Mantan Kanselir SPD Gerhard Schröder mengadopsi pendekatan serupa saat berhadapan dengan Presiden AS dulu, George W. Bush, demikian ditambahkan  Schulz. Antisipasinya adalah kemungkinan Jerman akan "mengambil pendekatan ini lagi."

ap/vlz (afp/dpa)