1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Merosotnya Citra Generasi 45

21 Agustus 2017

Selalu ada tempat bagi orang yang cerdas, entah itu berasal dari militer atau sipil. Apa alasannya? Simak opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/2iYPb
Special Army Forces Indonesien Kopassus Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/B.Ismoyo

Dari sekian generasi yang pernah lahir di negeri ini, tak salah bila dikatakan bahwa Generasi 45 sudah menjadi seperti mitos, mengingat generasi ini yang menjadi pemandu peralihan zaman, dari periode kolonial menuju masa kemerdekaan, dan berakhir di era Orde Baru. Dalam perjalanan waktu terjadi paradoks, ketika elemen dari  mereka sendiri yang justru memberi andil bagi merosotnya citra generasi ini.

Bagi generasi milenial atau Generasi Y, yang kini sangat menguasai opini di media sosial, secara alamiah dalam posisi diuntungkan, karena tidak pernah berhadapan langsung dengan Generasi 45. Sementara bagi generasi sebelumnya, mereka yang lahir di tahun 1960-an sampai 1980-an, Generasi 45 lebih dipandang sebagai beban ketimbang sebuah fenomena pencerahan.

Penulis: Aris Santoso
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Tentara langit

Dalam lingkungan TNI, ada satuan yang disebut pasukan para atau lintas udara, yakni pasukan yang menuju daerah operasi dengan menggunakan parasut. Ada sebutan indah untuk menggambarkan kehebatan pasukan seperti itu, yaitu "tentara langit”. Metafora tentara langit bisa pula untuk menggambarkan situasi riil pasca-Orde Baru, ketika tiba-tiba muncul begitu banyak jenderal di wilayah publik.

Saat Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno, Soeharto juga membawa gerbong berisi sekian banyak jenderal dari generasinya (Generasi 45), yang kemudian menjadi penyangga pemerintahannya. Sejumlah jenderal ini layak pula disebut tentara langit, karena mereka datang secara dadakan, mengingat publik tidak cukup memiliki pengetahuan tentang latar belakang mayoritas jenderal tersebut.

Pada umumnya para jenderal yang "turun dari langit” ini, berkumpul di sekitar Istana dan Golkar, parpol instan bentukan rezim Soeharto. Celakanya lagi, bila salah satu dari mereka ada yang menjadi pejabat publik, nama mereka akan menjadi materi pelajaran di SD dan SMP. Dengan kata lain ada unsur "paksaan” kepada anak didik untuk mengagumi tokoh yang kurang dikenal tersebut, sementara rasa kagum itu bersifat alamiah, tidak bisa dipaksakan.

Memang semuanya telah menjadi masa lalu. Namun satu hal yang patut dicatat adalah, segala perilaku (politik) dan gaya hidup mereka telah menjadi catatan tersendiri bagi Generasi 45. Ada satu perilaku politik, yang kemudian banyak ditiru generasi berikutnya, sebut saja itu sebagai komodifikasi jasa. Maksudnya, bahwa jasa mereka di masa perjuangan dulu, harus bisa dikonversi dengan kekuasaan, yang berujung pada kesejahteraan.

Model ini yang kemudian ditiru generasi-generasi berikutnya, mulai Angkatan 66 sampai 1990-an, bahwa andil dalam menumbangkan sebuah rezim di masa lalu harus ada imbal baliknya. Dengan cara seperti ini, publik tidak wajib lagi memberikan apresiasi, karena jerih payah mereka di masa lalu, sudah terbayar lunas, bahkan mungkin berlebih.

Satu  lagi adalah soal gaya hidup hedonis para jenderal di masa Orde Baru, yang masih meninggalkan jejaknya sampai sekarang. Di Jakarta hari ini, adalah pemandangan biasa bila para elite politik atau pengusaha besar, menjalankan gaya hidup hedonis,  tanpa rasa empati sedikit pun pada jutaan rakyat yang masih didera kemiskinan. Gaya hidup seperti ini sedikit-banyaknya merupakan warisan pahit dari  para jenderal Orde Baru, berkat privelese yang melekat pada para jenderal tersebut, dalam mengakses kekuasaan dan sumber kesejahteraan.

Diselamatkan  Yusuf dan Benny

Adalah Jenderal TNI  M Yusuf dan Jenderal TNI Benny Moerdani,   dua Panglima TNI (d/h Pangab) dari garda terakhir Generasi 45, dengan cara mereka masing-masing yang menyelamatkan citra generasi mereka, agar tidak terperosok lebih dalam. Saya kira, tanpa kehadiran dua figur ini, citra Generasi 45 benar-benar sedang menuju titik nadir.

Yusuf akan selalu dikenang sebagai pimpinan yang sangat memperhatikan moril dan percaya diri prajurit. Salah satu cara Yusuf memulihkan rasa percaya diri  prajurit TNI, adalah dengan meluncurkan program pemantapan kembali 100 bataliyon setingkat raiders, sebagai respons atas performa pasukan TNI yang memprihatinkan dalam Operasi Seroja. Kemudian merintis modernisasi persenjataan TNI, dengan mendatangkan pesawat supersonik F-5E Tiger.

Terlebih lagi, dengan posisi setinggi itu, Yusuf berani melawan arus, dengan tetap hidup sederhana. Sebenarnya ada dua jenderal lagi yang "berani” hidup sederhana, yakni Mayjen Mung Parhadimulyo (mantan Komandan RPKAD/Kopassus) dan Mayjen Soerjosoerarso (Gubernur AMN Magelang pertama),  sayangnya dua nama terakhir ini hanya dikenal pada lingkaran terbatas. Terlebih bagi Mayjen Soerjosoerarso, nama istrinya justru lebih dikenal, yakni Gusti Nurul, puteri dari Pura Mangkunegaran.

Sementara Benny akan selalu diingat dengan gaya kepemimpinannya yang khas. Adalah Benny yang mulai berani "mengimbangi” dominasi Soeharto, setidaknya dengan dua cara. Pertama, menggeser posisi Prabowo Subianto (saat itu masih berpangkat mayor), dari Kopassus ke kesatuan lain.

Kedua, dan ini lebih penting, yaitu memberi keleluasaan pada PDI untuk berkembang, sebagaimana terlihat ketika kampanye PDI terkait Pemilu 1987, berlangsung dengan gegap gempita. Dan ini masih berlanjut dengan memberi ruang politik pada Megawati Soekarno, yang menjadikan Mbak Mega bisa seperti sekarang.

Satu faktor yang membedakan Benny atau M. Yusuf, dengan kebanyakan jenderal Orde Baru lainnya adalah soal kharisma. Kharisma berkorelasi dengan apa yang sudah dia berikan bagi anak buah, korps, dan bangsa. Begitulah, jenderal atau pemimpin tanpa kharisma, kelak hanya akan jadi bahan tertawaan anak buah, dan langsung dilupakan begitu tidak menjabat lagi.

Generasi peralihan

Pada dasarnya politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari figur militer. Dalam rezim Jokowi sekarang, ada nama Letjen TNI (Purn) Luhut B Panjaitan (lulusan terbaik Akmil 1970), yang peranannya luar biasa menonjol. Tampak sekali Presiden Jokowi sangat mengandalkannya, dan Jokowi benar-benar diringankan dengan keberadaan Luhut, bahkan sejak hari pertama Jokowi masuk gerbang Istana.

Selain Luhut ada nama Jenderal TNI (Purn) Wiranto (Akmil 1968), keduanya bisa disebut sebagai generasi peralihan pasca-Angkatan 1945. Tanpa disadari Presiden Jokowi sendiri,  keberadaan Luhut dan Wiranto sebenarnya merupakan representasi  baret korps di TNI AD, yakni Luhut sebagai representasi baret merah (Kopassus), dan Wiranto dari baret hijau (Kostrad). Karakter satuan asal masih terus terbawa-bawa ketika keduanya membantu presiden.

Tentu kita masih ingat, Luhut selalu berperan dalam situasi krisis dan genting, terutama pada hari-hari pertama Jokowi menjabat Presiden. Ketika situasi sudah relatif terkontrol, giliran Wiranto yang mengambil alih, sesuai dengan fungsinya saat masih bertugas di satuan baret hijau dulu.

Kalimat terakhir yang ingin saya katakan adalah, bahwa selalu ada tempat bagi orang yang cerdas, entah itu berasal dari militer atau sipil. Bangsa ini sungguh merugi bila tidak memberi ruang bagi perwira-perwira hebat seperti Benny Moerdani atau Luhut Panjaitan. Perwira cerdas ibarat bunga teratai, yang tetap terlihat indah, meski tumbuh di air atau lingkungan yang kurang jernih.

Penulis:

Aris Santoso (ap/yf), sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.