1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mesir Salah Arah

Robert Mudge14 Mei 2013

Setelah Hosni Mubarak digulingkan, Mesir seolah memasuki era baru. Tapi kini negeri itu lebih terpecah belah dibanding sebelumnya, dan demokrasi masih menjadi mimpi yang jauh. Apa yang salah?

https://p.dw.com/p/18XMz
Foto: Reuters

Kabar dari Kairo hari-hari belakangan ini ditandai dengan pertarungan politik, kerusuhan agama dan kemerosotan ekonomi, dan transisi demokrasi kelihatannya menabrak tembok. Gambar-gambar kekerasan dan kekacauan yang mendominasi berbagai laporan dari kota di sungai Nil, tidak bisa lebih jauh dari kegembiraan dan euphoria yang memenuhi bangsa itu sesaat setelah Husni Mubarak jatuh.

Saat itu banyak orang Mesir berpikir mereka sedang berdiri di ambang era baru – bersatu dengan kebebasan yang lebih besar, lebih banyak hak dan cukup makanan untuk semua orang. Tapi bukan itu yang terjadi, dan banyak yang kini mengutuk revolusi, dan bertanya “apa yang salah?”

Polarisasi kekuatan

Militer dan Ikhwanul Muslimin seringkali disebut-sebut sebagai pihak yang berkontribusi bagi terjadinya berbagai kesalahan dan kegagalan proses transisi. Analis politik Emad Gad dari pusat kajian Al-Ahram di Kairo percaya bahwa kesalahan sudah terjadi sejak awal, ketika mereka membentuk majelis konstitusi, sebagaimana dilakukan Tunisia, tentara dan kaum Islamis mendorong pemilihan umum awal parlemen.

Rakyat Mesir mengikuti jalan ini dan memilih mendukung pemungutan suara dalam referendum Maret 2011. Mesir kemudian mulai menari dengan demokrasi, tanpa pertama-tama mempelajari dulu langkah-langkahnya. Lebih buruk lagi, kata Gad, adalah karena pemilihan awal itu telah membelah masyarakat ke dalam kutub Islamis dan kelompok sekuler. Sejak saat itu, polarisasi telah menciptakan karakteristik dalam diskurs politik.

Sayap Ikhwanul Muslimin: Partai Kebebasan dan Keadilan yang mengumpulkan hampir 50 persen suara dalam pemilu parlemen pada akhir 2011, berhasil menempatkan kandidatnya yakni Mohammed Morsi sebagai kepala negara sipil pertama Mesir. Partai ini sejak awal menempatkan agama sebagai agenda politik. “Di Mesir, agama adalah cara paling gampang untuk mendapatkan dukungan pemilih,“ kata Gad. “Empat puluh persen rakyat buta huruf, yang artinya mereka gampang dipengaruhi.”

Salafisten
Kelompok Salafi dan Ikwanul Muslimin menguasai parlemen Mesir.Foto: picture-alliance/AP

Kegagalan memahami demokrasi

Stephan Roll, seorang ahli Mesir dari German Institute for International and Security Affairs (SWP) bersikap kritis baik kepada kebijakan polarisasi Ikhwanul Muslimin dan juga oposisi. “Kekuatan sekuler ingin berkuasa pada pijakan yang sama, tapi dengan demikian, mereka menyebabkan hasil pemilu menjadi usang.”

Dengan pernyataan itu, ia percaya bahwa para Islamis melihat kemenangan mereka di kotak suara sebagai kekuasaan tanpa batas untuk berkuasa dengan kekuasaan mutlak. ”Kedua pihak jelas gagal memahami makna sesungguhnya dari demokrasi,” kata Roll.

Sejak kemenangan telak para Islamis dalam pemilu parlemen, debat politik di Mesir hampir semuanya berpusat pada peran agama dalam konstitusi, masyarakat dan media. Panggilan revolusioner bagi keadilan sosial telah menjauh dan para politisi mengabaikan isu-isu ekonomi. Roll mengatakan bahwa hingga para politisi belajar untuk berurusan secara independen dengan berbagai masalah mendasar, negara itu tidak akan maju.

Perlawanan atas cara-cara lama

Pada saat oposisi Mesir berusaha menyalahkan para Islamis atas kemandekan ekonomi dan status quo politik, para Islamis sendiri mengatakan bahwa masalah saat ini adalah sisa-sisa kemabukan rezim lama, dan para pendukung Mubarak sedang menghalangi jalan untuk maju.

Sampai sejauh mana kebenarannya, kini sedang diperdebatkan. Emad Gad mengatakan bahwa warisan Mubarak masih hidup dalam berbagai bentuk yakni: korupsi, penyiksaan dan nepotisme. Tapi menyalahkan pendukungnya atas penyakit masyarakat Mesir saat ini seperti “sebuah alasan dari Ikhwanul Muslimin yang enggan melaksanakan reformasi.“

Roll, bagaimapun percaya sejauh mana sistem lama mempengaruhi keadaan masa kini. Rejim Mubarak dibangun tidak hanya lewat dua atau tiga keluarga, tapi terwakili dalam elit ekonomi, para hakim dan aparatus keamanan. Fakta bahwa bekas perdana menteri Mubarak yakni Ahmed Shafik, mendapatkan 48 persen suara dalam pemilu presiden tahun lalu bisa dilihat untuk menggarisbawahi teori tersebut. Demikian pula dengan perintah hakim penting Mesir untuk membubarkan parlemen yang didominasi kelompok Islamis.

Ägypten Kairo Mubarak erneut vor Gericht
Sisa-sisa kekuatan Husni Mubarak masih melakukan perlawanan.Foto: picture-alliance/AP

Mencari orang tengah

Kurangnya kepercayaan bisa menghentikan transisi Mesir, dan banyak yang percaya tidak akan ada kemajuan nyata sampai muncul individu atau sebuah lembaga di tingkat nasional yang bisa menjadi orang tengah untuk menggiring kedua belah pihak ke meja perundingan.

Dan karena tidak ada Nelson Mandela di Mesir, banyak yang melihat kearah militer untuk mengatasi kesenjangan. Tapi Emad Gad tidak melihat mereka sebagai orang yang tepat untuk mengerjakan itu. ”Bulan-bulan di bawah kepemimpinan militer langsung setelah kejatuhan Mubarak adalah sebuah bencana,” kenang dia. ”Para Jenderal hanya tertarik untuk mengamankan kepentingan mereka di era baru.”

Baru-baru ini, sebuah kelompok aktivis mengatakan bahwa mereka telah mengumpulkan satu juta tandatangan untuk meminta agar militer kembali mengambil alih kekuasaan. Tapi jika tentara benar-benar kembali ke politik, transisi Mesir menuju demokrasi akan mati di dalam air.