1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Militer Barat Klaim Pertahanan Udara Gaddafi Dilumpuhkan

23 Maret 2011

Militer negara barat mengklaim berhasil melumpuhkan pertahanan udara Libya. Warga Tripoli melaporkan api dan asap terlihat di sejumlah penjuru kota. Gaddafi bertekad tidak akan menyerah.

https://p.dw.com/p/10gAE
Pesawat tempur Inggris, Tornado.
Pesawat tempur Inggris, Tornado.Foto: AP

Militer internasional berhasil menegakkan zona larangan terbang di Libya, demikian dinyatakan Inggris. Panglima pasukan udara Inggris, Marsekal Muda Greg Bagwell, dalam kunjungan di pangkalan militer Italia menjelaskan bahwa sistem pertahanan udara dan struktur komando Gaddafi berhasil dilumpuhkan sehingga pesawat tempur internasional bisa mengudara di angkasa Libya tanpa halangan.

Pasukan angkatan darat Gaddafi juga terus-menerus diawasi dan jika melancarkan serangan terhadap warga sipil akan ditindak, tambah Bagwell. Menurut keterangan seorang jurubicara marinir AS, 97 satuan tempur udara melancarkan serangan terhadap pusat komando, pangkalan udara dan tank-tank Gaddafi, Selasa (22/03) dan Rabu (23/03).

Meski mengklaim kemenangan, koalisi militer negara barat terus melancarkan serangan udara. Warga ibukota Tripoli melaporkan mendengar sejumlah suara ledakan. Selain itu dilaporkan asap dan api terlihat di berbagai penjuru kota.

Gaddafi: Libya Tidak Akan Menyerah

Libyen Gaddafi Fernsehinterview 17.03.2011
Muammar al GaddafiFoto: AP/RTP TV

Televisi Libya untuk pertama kalinya sejak seminggu, kembali menayangkan pidato Muammar al Gaddafi kepada para pendukungnya, yang disampaikan dari kompleks kediamannya di dekat Tripoli. Dari atas balkon rumah kediamannya Gaddafi menegaskan, ia tidak akan menyerah. "Kami akan ambil bagian dalam perang bersejarah ini. Kami tidak akan menyerah. Demonstrasi di mana-mana menentang agresi ini, membuktikan ketidakadilan agresi."

Obama Berupaya Redakan Sengketa Internal Koalisi Barat

Sementara itu Presiden Amerika Serikat Barack Obama terus mengupayakan agar sengketa internal dalam tubuh koalisi Barat tidak semakin melebar. Obama pada saat mengakhiri kunjungannya ke Amerika Latin kembali menegaskan, sasaran aksi militer ke Libya, adalah untuk melindungi rakyat sipil dari serangan rezim penguasa.

"Jika Gaddafi tidak mengundurkan diri, masih terdapat potensi ancaman terhadap rakyat Libya. Dan kami akan melanjutkan dukungan pada upaya melindungi rakyat Libya," disampaikan Obama.

Namun Obama juga menyatakan, Amerika Serikat dalam waktu beberapa hari ini akan menyerahkan komando aksi militer di Libya kepada NATO. Berkaitan dengan sikap AS untuk meredam perpecahan dalam koalisi Barat, Presiden Perancis Nicolas Sarkozy dan PM Inggris David Cameron melakukan pembicaraan konsultasi dengan Obama. Paris dan London setelah itu secara senada menyatakan bahwa NATO harus memainkan peranan kunci dalam aksi militer terhadap rezim Gaddafi. Tapi sejauh ini koalisi Barat belum menyepakati rincian dari peranan NATO.

NATO Kerahkan Kapal Perang

Rabu (23/03), NATO mulai mengerahkan dua kapal perangnya ke kawasan pantai Libya. Italia yang terus mengritik struktur komando koalisi Barat, terutama posisi dominan Perancis dan Inggris, menyatakan telah menyiapkan tujuh pangkalan angkatan udaranya untuk mendukung misi terhadap Libya. Belanda kini juga ikut serta dalam aksi militer NATO, dengan mengerahkan enam pesawat tempur F-16, sebuah pesawat tanker dan sebuah kapal selam pencari ranjau ke kawasan Laut Tengah.

Sejauh ini tidak ada yang dapat memperkirakan, berapa lama aksi militer terhadap rezim Gaddafi akan dilancarkan. Juga pertempuran antara kelompok pemberontak melawan pasukan pro Gaddafi dilaporkan terus berkobar. Para pengamat militer semakin meragukan kemampuan pasukan pemberontak untuk memenangkan pertempuran. Kelompok pemberontak Libya nyaris tidak memiliki struktur komando dan tanpa rencana jelas. Kelompok anti Gaddafi melancarkan revolusi secara spontan.

Para pengamat juga menyatakan, situasi di Libya serba salah, karena itu Barat tidak akan mengirimkan pelatih atau senjata kepada kelompok pemberontak, menimbang potensi runtuhnya sistem politik dan hukum.

Agus Setiawan/dpa/rtr/afp/LS

Editor: Dyan Kostermans