1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

111011 Arabische Armeen

11 Oktober 2011

Awal bulan ini di ibukota Tunis digelar konferensi Jerman-Tunisia membahas posisi militer di dalam politik. Konferensi berjalan dengan baik, karena setiap pihak diberi kesempatan untuk mengutarakan kepentingannya.

https://p.dw.com/p/12qBq
Kombobild Arabische Präsidenten: Muammar al-Gaddafi, Zine el-Abidine Ben Ali, Zine el-Abidine Ben Ali und Baschar al-Assad; Copyright: picture alliance/dpa/abaca
Presiden Arab yang berhasil digulingkan. Berkat dukungan militer?Foto: picture alliance/dpa/abaca

Militer di negara Arab memainkan peranan yang berbeda-beda. Hal ini nampak sangat jelas ketika kawasan itu diguncang gerakan reformasi dan aksi protes. Di Suriah dan Bahrein misalnya, militer menindas rakyatnya. Sementara di Mesir dan Tunisia mereka mendukung revolusi. Awal bulan ini di ibukota Tunis digelar konferensi Jerman-Tunisia membahas posisi militer di dalam politik. Konferensi berjalan dengan baik, karena setiap pihak diberi kesempatan untuk mengutarakan kepentingannya.

Peraturan tempat duduk di ruang konferensi Jerman-Tunisia adalah simbolis. Intinya dibentuk oleh masyarakat sipil yang diwakili oleh pakar hukum, keamanan dan politik. Lalu dikelilingi oleh militer yang terdiri dari angkatan laut, udara dan darat. Mereka bertemu di Tunis untuk merundingkan peran militer di era revolusi Arab. Penyelenggara acara adalah yayasan Jerman Konrad-Adenauer-Stiftung. Ketua penyelenggara Klaus Loetzer senang para undangan menghadiri konferensi. „Kekhususan pertemuan ini adalah masyarakat sipil dan militer bertemu untuk berbicara bersama-sama. Mereka bersedia untuk hadir, kami tidak perlu memaksa mereka. Kami senang karena kami juga terlibat", kata Loetzer.

Ahmed Driss, direktur Pusat Studi Mediterania dan Internasional yang juga ikut mengorganisasi pertemuan tersebut sependapat dengan Klaus Loetzer. „Dulu tidak terbayangkan, kita semua dapat duduk di sini di ruang konferensi ini. Kami bahagia begitu banyak perwira memenuhi undangan kami untuk membicarakan masalah yang tidak hanya terkait militer“, tutur Loetzer.

Pertemuan pertama tentu tidak mudah. Agar konferensi dapat berjalan dengan lancar sejumlah kesalahpahaman harus diselesaikan terlebih dahulu. Beberapa anggota militer yang hadir merasa terlalu banyak masalah yang dibahas. Misalnya menyangkut hirarki dan struktur militer yang hendak disesuaikan dengan sistem demokrasi. Seorang perwira mengatakan, "menurut saya, demokrasi militer bukan prioritas. Militer disiplin dan netral terhadap politik. Dan tentara lebih memahami arti demokrasi. Contoh terbaik adalah ketika kami berhasil mengusir presiden.“

Kenyataannya memang militer Tunisia punya andil dalam penggulingan Presiden Ben Ali. Di kawasan Arab hubungan militer dengan masyarakatnya berbeda-beda. Di Suriah misalnya, masih ada kalangan di dalam militer yang melihat dirinya sebagai sayap bersenjata rezim dan menggunakan kekerasan terhadap penentang rezim. Pakar hukum Chafik Said dari Universitas Tunis menggambarkan sikap militer Tunisia dan Mesir. „Militer Tunisia dan Mesir memang bersikap republik. Menurut saya, penerapan pengawasan secara demokratis di sebuah negara yang dulunya dikuasai militer seperti di Turki dan Mesir masih saja merupakan masalah. Sementara di negara seperti Tunisia situasinya berbeda karena militer tidak pernah memegang tambuk pemerintahan dan selalu mematuhi politik“, ungkap Said.

Dengan persyaratan apa militer bersedia dikontrol secara demokratis? Bagaimana mereka akan ditempatkan, agar bersedia mewujudkan nilai-nilai demokrasi? Hikmah apa yang dapat diambil dari Turki, dimana militer memandang dirinya sebagai penjaga konstitusi, sementara lembaga itu tidak disahkan secara demokrasi? Konferensi Jerman-Tunisia membahas sejumlah tema penting di segala tingkatan.

Heiner Kiesel/Andriani Nangoy

Editor: Hendra Pasuhuk