1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

250111 Jahr des Waldes

Günter Birkenstock11 Februari 2014

Sepertiga luas Jerman merupakan hutan, sebuah warisan budaya dan bagian dari identitas Jerman, terutama pada abad ke-20.

https://p.dw.com/p/10EmE
Foto: Fotolia/Thorsten Schier

„Semakin sibuk keseharian, semakin besar keinginan untuk menemukan sebuah lahan bumi yang belum terjamah dan hewan-hewan yang masih benar-benar hidup dalam kebebasan.“ Film „Der Förster vom Silberwald“ atau „Penjaga Hutan Perak“ yang dirilis tahun 1955 itu dibuat dalam kondisi yang sangat sulit di pegunungan Alpen. Tujuannya untuk mendapatkan pemandangan sensasional dan unik agar setiap jantung penonton berdebar bila melihatnya. Film itu memang merupakan salah satu film yang paling sukses di Jerman. Setelah itu, banyak film tentang Jerman lainnya yang menggunakan hutan sebagai setting romantis. Lagu-lagu pop Jerman juga cukup lama menyanyikan tema hutan.

Apakah itu setting yang norak atau obyek himne yang dipuja, hutan adalah sebuah penjelmaan alam murni dan asli. Kebalikan dari ketergesaan dan kehidupan artifisial yang terutama dikaitkan dengan kota-kota besar yang modern. Namun, dilihat secara historis ini merupakan pengertian hutan yang relatif baru.

Pasalnya, 200 tahun yang silam, citra hutan masih sangat negatif. Demikian diungkapkan Profesor Antropologi Budaya Albrecht Lehmann, "Hutan pada abad ke-18 lebih merupakan bentukan alam yang ditakuti, dan terutama sangat intensif dimanfaatkan. Tak seorang pun yang ingin berada di hutan pada abad ke-18. Ada penelitian yang mengungkapkan, udara di hutan bahkan sangat tidak sehat. Itu adalah yang disebut teori Miasma yang konon dapat membuktikan bahwa udara di hutan tidak sehat, karena berkabut, pengap dan lembab.“

Selanjutnya Lehmann menegaskan bahaya-bahaya yang tak terduga di dalamnya. Ia telah melakukan penelitian mengenai sikap orang Jerman terhadap hutan. Dulu, orang bisa tersesat dan diserang perampok. Selain itu orang sempat cukup lama percaya, bahwa hantu-hantu dan tukang sihir tinggal di hutan.

Yang pasti, orang tidak betah tinggal di hutan. Tetapi pandangan ini berubah terutama pada abad ke-19, yaitu awal era Romantik. Ilmuwan bahasa Jakob Grimm mengambil “Germania”, yaitu karya ahli sejarah zaman Romawi kuno, Tacitus, untuk menyuburkan pandangannya mengenai identitas Jerman. Lehmann, “... di situ ia melihat bahwa hutan adalah tempat sumber budaya Jerman. Memang pemikiran utama era Romantik adalah bahwa orang dapat merekonstruksi kebudayaan dan budaya leluhur dari mitos, juga dari dongeng, legenda dan cerita-cerita rakyat lainnya. Ini adalah pemikiran utama era Romantik, yaitu rekonstruksi sebuah kebenaran masa lalu.”

Begitulah hutan dijadikan tempat bermulanya budaya Germania. Banyak pengarang dan penyair membantu upaya membentuk pandangan bahwa keindahan dan hal yang sesungguhnya berada di hutan. Salah seorang dari kelompok itu adalah Adalbert Stifter dengan karyanya „Hochwald“ yang mengidealisasikan hutan , terbit tahun 1841 dan menjadi bestseller pada abad ke-19. Kembali Lehmann, "Kemudian mereka menyisipkan sentuhan-sentuhan seni. Gemerisik pepohonan dan seterusnya. Semuanya ini memasuki kalbu sehingga setiap orang yang pergi ke hutan merasakan dirinya seperti seorang etnis Germania. Ketika NAZI mengambil alih kekuasaan, hal itu sudah sejak lama menjadi bagian budaya kita. Apa yang ditulis Grimm dan penulis Romantik lainnya, tidak bersifat politik. Tetapi Nazi misalnya, dan juga yang lainnya dari abad ke-19, hendak menjadikan kecintaan terhadap hutan sebagai sesuatu yang khusus bersifat Jerman.“

Pakar Antropologi Budaya Wilhelm Heinrich Riehl mengkontribusi teori terkait. Ia membandingkan Jerman dengan Inggris dan Perancis yang tidak begitu banyak memiliki lahan yang ditumbuhi pepohonan. Karena itu Riehl berasumsi bahwa hutan Jerman adalah sesuatu yang istimewa dan dengan begitu juga orang Jerman, mengingat etnis Germania dulu memang tinggal di hutan-hutan yang sekarang termasuk Jerman. Keinginan akan identitas dan supremasi Jerman menyuburkan tanggapan itu. Era Nazi kemudian berakhir, tetapi identifikasi dengan hutan sebagai tempat dambaan masih bertahan.

Puluhan tahun kemudian, setelah era keajaiban ekonomi dan era besar film-film tanah air telah berlalu, ketika hutan sudah lama ditemukan orang-orang yang berolah raga, muncullah ketakutan. Ketakutan akan punahnya hutan. Lehmann bertutur, "Keindahan dunia dengan gambar-gambar romantis, sepinya hutan, keheningan, alam. Hutan adalah simbol menyeluruh bagi alam, dan semuanya ini mengalir ke dalam bayangan ketakutan bahwa kita akan kehilangan sesuatu.“

Sementara itu pakar biologi dan kehutanan yakin bahwa hutan sama sekali tidak berada dalam keadaan rapuh seperti yang dipaparkan dalam laporan-laporan dramatis sebelumnya. Namun pada awal tahun 80-an tak seorang pun mengindahkan hal itu. Dengan demikian, hutan lagi-lagi menjadi lahan proyeksi sebuah mitos. Saat ini tema mengenai „hujan asam“ merupakan cerita masa lalu. Di Jerman orang tidak lagi berbicara tentang punahnya hutan. Namun, hutan masih bertahan sebagai tempat yang didambakan pencita alam total, olahragawan dan orang-orang yang romantis.