1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mitos Kerukunan NU-Muhammadiyah (Bagian Pertama)

30 Januari 2018

Banyak orang menganggap bahwa jamaah Nahdlatul Ulama dan pengikut Muhammadiyah itu selalu rukun dan kompak dalam menjaga keislaman yang moderat, merawat ke-Bhineka Tunggal Ika-an. Ikuti opini Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/2qyij
Indonesien Islam Anhänger von Muhammadiyah in Jogjakarta
Foto: SUDIARNO/AFP/Getty Images

Banyak orang (baik Muslim maupun bukan, baik elit maupun awam, baik masyarakat Indonesia maupun pengamat asing) menganggap bahwa jamaah Nahdlatul Ulama (NU) yang sering disebut "Nahdliyyin” dan pengikut Muhammadiyah itu selalu rukun, harmonis alias kompak dalam menjaga keislaman yang moderat, merawat ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, menjaga konstitusi dan ideologi negara, serta mempertahankan keutuhan bangsa dan negara dari serbuan ideologi Islamisme (baik lokal maupun transnasional) yang mencoba mengubah dan mentransformasi Indonesia menjadi "negara Islam”, Khilafah, dan sejenisnya.    

Bagi saya anggapan, asumsi dan penilaian itu hanya "separuh benar”. Realitasnya, wong NU dan Muhammadiyah itu sulit akur. Susah buat mereka untuk hidup rukun dan harmoni. Berat buat jamaah kedua ormas ini untuk bersatu padu dan membaur dalam kebersamaan dan pertemanan sejati.

Sumanto Al Qurtuby adalah Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
Penulis; Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Dalam sejarahnya, NU (berdiri tahun 1926) dan Muhammadiyah (berdiri 1912) ini memang lebih banyak berantem daripada berteman sehingga sulit buat pengikut kedua ormas ini untuk rekonsiliasi dan membangun persahabatan yang tulus dan permanen. Luka-luka sejarah masa silam yang begitu menganga rasanya sulit untuk dipulihkan.

Bahwa ada sejumlah kelompok elit dari kedua ormas ini yang sangat rukun memang benar. Bahwa ada sejumlah akademisi dari kedua ormas ini yang menjalin pertemanan genuine memang betul. Bahwa ada sejumlah aktivis dari kedua ormas ini yang bahu-membahu bekerja sama untuk pemberdayaan masyarakat memang tidak bisa dipungkiri. Saya sendiri, sebagai wong NU, mempunyai banyak teman dari kalangan Muhammadiyah.

Tetapi sekali lagi, mayoritas pengikut kedua ormas ini (apalagi di tingkat akar-rumput) susah sekali bersatu menjalin persahabatan sejati apalagi permanen guna membangun peradaban Islam dan bangsa yang gemilang. Hal itu karena sejatinya pengikut kedua ormas ini lebih mirip Tom dan Jerry atau air dan minyak yang hampir-hampir sulit untuk disatukan. Bagi para fanatikus NU dan Muhammadiyah, mereka bahkan tidak mau kawin-mawin karena dianggap "pamali” selain gengsi.

Meskipun para pendiri kedua ormas ini seperti KH Hasyim Asyari (NU) dan KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) konon pernah berguru pada ulama yang sama (misalnya Kiai Sholeh Darat Semarang yang dianggap sebagai guru para kiai dan ulama di "Hindia Belanda”) dan sejumlah "ulama Nusantara” di Mekkah di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, tetapi itu tidak menjadikan pengikut kedua ormas Islam ini secara otomatis akur dan bersatu.

Dendam-kesumat NU-Muhammadiyah?

Ada sejumlah ungkapan yang sudah beredar luas di kalangan NU sehingga menjadi "rahasia umum” yang menunjukkan konflik, perseteruan, dan dendam-kesumat NU-Muhammadiyah. Meskipun dikemas dengan bahasa guyonan khas NU tetapi isinya melambangkan ketidakharmonisan dan perseteruan kedua ormas ini.

Misalnya, ungkapan "Lebih baik berteman dengan Kristen ketimbang Muhammadiyah”. Kenapa begitu? Karena berteman dengan Kristen jauh lebih aman daripada berteman dengan Muhammadiyah. Kalau berteman dengan Muhammadiyah, bukan hanya sandal dan speaker masjid saja yang hilang tetapi masjidnya juga ikut hilang. Maksudnya, Muhammadiyah dipandang sebagai "ormas rakus dan maling” yang suka mengakui, mengklaim, mengubah atau mengalihnamakan properti milik NU, khususnya mushalla dan masjid-masjid, menjadi miliknya.

Ada lagi ungkapan: "Alhamdulilah di daerah kami semua atau mayoritas penduduk memeluk agama Islam, hanya sedikit saja yang Muhammadiyah”.  Ini adalah jawaban wong NU ketika ditanya kiai tentang perkembangan agama Islam di wilayahnya. Oleh para fanatikus NU, Muhammadiyah dipandang sebagai "setengah Islam”.

Baca juga:

Ulama Perempuan untuk Keadilan Gender dan Dunia Anti Kekerasan

Survey: Muslim Indonesia Semakin Konservatif

Kenapa NU-Muhammadiyah sulit akur?

Begini penjelasannya. Ada sejumlah faktor sosial-kultural-keagamaan dan kepolitikan dalam sejarah relasi NU-Muhammadiyah yang sangat akut sehingga menyulitkan kedua belah pihak untuk pulih dan damai. 

Dalam sejarahnya, Muhammadiyah (selain Persis) adalah ormas Islam yang paling gencar menyerang tradisi, budaya, amalan, dan praktik-praktik ritual-keagamaan lokal yang dilakukan warga NU. Muhammadiyah memerangi semua itu karena dianggap bisa "menyekutukan Allah” alias menggelincirkan umat Islam ke praktik syirik, selain diyakini bisa menodai kemurnian Islam dan keaslian akidah Islam.

Dulu (dan sayup-sayup masih terdengar hingga kini), sangat populer istilah TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat), yaitu tiga jenis "penyakit” umat Islam yang diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Muhammadiyah dan dipandang bisa menodai kemurnian ajaran dan doktrin keislaman.

Karena dipandang sebagai bagian dari "penyakit TBC” itulah, Muhammadiyah selama berpuluh-puluh tahun dengan derasnya mengkritik dan menyerang berbagai praktik ritual-keagamaan yang dipraktikkan dan dilestarikan warga NU seperti tahlilan, sedekahan, kenduren, berjanjen (barzanji), dzibaan, dalailan, manaqiban, shalawatan, muludan, ziarah kubur, syuronan, qunut, sufisme, sebutan "sayyid” untuk Nabi Muhammad, dan masih banyak lagi. Belakangan saja, ada sejumlah warga Muhammadiyah yang bersedia tahlilan, shalawatan, atau ziarah kubur.

Muhammadiyah memang ormas puritan. Karena itu bagi warga NU, Muhammadiyah adalah 11-12 dengan kaum "sawah” (Salafi Wahabi) yang dinilai telah merusak tatanan, tradisi dan budaya masyarakat Islam lokal di Indonesia.

Meskipun sebetulnya yang mereka perdebatkan dan sengketakan itu adalah "persoalan remeh-temeh” (istilahnya "furu'iyyah”) tetapi oleh keduanya dianggap sangat mendasar, fundamental, dan prinsipil, karena itulah konflik dan ketegangan antar-keduanya tidak bisa dielakkan.

Pendirian NU sendiri sebetulnya karena dilatari oleh kemauan kuat para kiai dan ulama pesantren untuk menjaga dan melestarikan aneka tradisi dan kebudayaan Islam serta tradisi bermazhab yang selama ini dipraktikkan oleh komunitas santri dan masyarakat Muslim pendesaan yang menjadi basis jamaah NU.

Baca juga:
Antara Politik Ulama dan Ulama Politik

Tokoh NU Pidato, Muktamar Jombang pun Damai dan Lancar

Sementara pendirian Muhammadiyah, antara lain, juga dilatari untuk melakukan reformasi dan modernisasi umat Islam dengan jalan puritanisasi pemikiran dan praktik keislaman. Karena dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran modernis-reformis para ulama di Mesir seperti Jamaludin Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Rida, Muhammadiyah gencar mengkampanyekan pentingnya atau wajibnya bagi umat Islam untuk berpegang teguh hanya pada Al-Quran dan Hadis saja.

Lagi-lagi, pernyataan ini secara terang-benderang menyerang NU yang jelas-jelas mengikuti tradisi bermazhab. Kampanye Muhammadiyah tentang "kembali pada Al-Qur'an dan Hadis” jelas-jelas berlawanan dengan pemahaman keislaman dan praktik keagamaan warga NU yang bukan hanya menjadikan Al-Qur'an dan Hadis (dan Sunah Nabi) sebagai sumber hukum dan rujukan amalan keislaman tetapi juga sumber-sumber lain seperti ‘urf atau adat, qiyas (analogi), istihsan serta berbagai aqwal (perkataan) para ulama dan fuqaha (ahli hukum Islam), khususnya para pendiri mazhab hukum Islam dalam lingkup Sunni (seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal), yang tersimpan dalam ribuan kitab kuning yang sayangnya tidak diapresiasi oleh Muhammadiyah, yang oleh Nahdliyyin dipandang sebagai ormas "anti kitab kuning”.

Selanjutnya, Muhammadiyah juga menyerang dengan sengit praktik-praktik sufisme (tasawuf) atau mistisisme dan dunia tarekat yang dianggap sebagai "amalan klenik” yang tidak rasional. Padahal, sufisme, tarekat dan NU hampir-hampir atau nyaris tak terpisahkan karena para kiai dan warga Nahdliyyin hampir-hampir bisa dipastikan adalah para pengikut tasawuf dan organisasi tarekat tertentu. Karena dunia tasawuf dan tarekat sudah menjadi bagian integral NU, maka "ormas tradisional” inipun memiliki lembaga khusus yang mewadahi berbagai aliran tarekat bernama Jam'iyah Ahlil Thariqah al-Mu'tabarah al-Nahdliyyah (JATMAN) yang konon sejauh ini ada 45 aliran tarekat yang diakui eksistensi dan keabsahannya oleh NU.  

Sejumlah perbedaan tafsir, pandangan, pemahaman, dan tindakan yang menyangkut masalah-masalah sosial-kultural-ritual-keagamaan inilah, antara lain, yang telah membuat NU dan Muhammadiyah itu sulit berdamai. Muhammadiyah menyebut NU sebagai ormas "tradisional, kolot, udik, kampungan, ndeso, dan sarungan” yang tidak melek pendidikan, anti-modernisasi, miskin wawasan, kontra ijtihad, hobi taklid, dan anti perubahan sosial.

Sementara NU menilaiMuhammadiyah sebagai ormas sok modern, keminter, kemajon, sok berpendidikan, sok intelek, sok ngota, meskipun sejatinya pengikut Muhammadiyah adalah kumpulan orang-orang ‘bodoh' karena tidak bisa membaca "Arab gundul” dan kitab kuning.

Sentimen dan persepsi negatif warga NU terhadap Muhammadiyah dan juga sebaliknya tidak banyak berubah hingga kini. Meskipun sebagian dari mereka bisa saja duduk bersama dan bercanda ria tetapi dalam hati dan batin mereka sangat merana. Ini baru faktor sosial-kultural-keagamaan, belum lagi faktor kepolitikan yang membuat jarak keduanya semakin menganga sehingga sulit disatukan dan dirukunkan (bersambung).

Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)

Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.