1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Munculnya Kodam-kodam Baru

13 Desember 2016

Apa makna peresmian dua kodam baru? Militer menancapkan kukunya secara politis atau Jokowi tengah mengamankan kekuasaanya. Berikut opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/2U0oI
Jakarta Indonesien Militär Soldaten Wahl Präsidentschaftswahl 8.7.14
Foto: Reuters

Santer diberitakan, bahwa dua Komando Daerah Militer baru akan segera diresmikan, masing-masing adalah Kodam XIII/Merdeka dan XVIII/Kasuari. Saat tulisan ini disusun, belum ada informasi pasti kapan dua Kodam tersebut diresmikan, termasuk pelantikan Pangdam-nya.

Berdasarkan  Surat Keputusan Panglima TNI tanggal 10 Oktober 2016, dua pati (perwira tinggi) yang akan memimpin dua Kodam baru tersebut, juga sudah ditetapkan, yang pelantikannya bersamaan dengan peresmian Kodam baru tersebut. Dua pati dimaksud adalah  Mayjen TNI Ganip Warsito (Akmil 1986) sebagai Pangdam XIII/Merdeka, dan Mayjen TNI Joppye Onesimus Wayangkau (Akmil 1986) untuk Pangdam XVIII/Kasuari.

Sebagai tambahan informasi, dua Kodam baru tersebut merupakan pemekaran dari dua Kodam yang sudah ada. Kodam XIII/Merdeka adalah pemekaran dari Kodam VII/Wirabuana (Makassar), sementara Kodam XVIII/Kasuari adalah pemekaran dari Kodam XVII/Cenderawasih (Jayapura).

Penulis: Aris Santoso
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Kodam XIII/Merdeka akan bermarkas di Manado, kelak membawahi tiga Korem (Korem Manado, Korem Palu dan Korem Gorontalo). Adapun wilayah kontrol Kodam XVIII/Kasuari (markas Manokwari) setara dengan Provinsi Papua Barat, dengan membawahi Korem Sorong dan Korem Biak.

Aspirasi TNI AD

Satu hal yang menarik dari pembentukan Kodam kali ini adalah, tidak adanya keberatan publik atau catatan kritis dari kalangan intelektual. Seandainya ada resistensi pun, sangat rendah intensitasnya, jadi tidak menimbulkan kegaduhan berarti.

Pembentukan Kodam baru kali ini berjalan mulus, bedakan dengan saat pembentukan Kodam (baru) sebelumnya, seperti Kodam Iskandar Muda (Aceh) dan Kodam  XII/Tanjungpura (Pontianak), yang sempat menjadi pro-kontra di masyarakat, meskipun akhirnya perdebatan itu hilang pula dengan sendirinya.

Saya sendiri menduga, ketiadaan penolakan dari masyarakat, bisa jadi karena masyarakat sendiri tidak peduli dengan wacana tersebut, mengingat beban hidup yang semakin kompleks. Bagaimana mungkin rakyat memikirkan pembentukan Kodam, kalau untuk sekadar bertahan hidup saja sudah demikian beratnya. Masyarakat akan berpikir, bahwa wacana Kodam baru adalah urusan elit politik dan militer di Jakarta, sama sekali bukan urusan rakyat. Situasinya memang menguntungkan, Kodam baru didirikan di tengah apatisme masyarakat.

Secara politis TNI AD masih kuat

Pembentukan Kodam baru juga mengonfirmasi satu hal, bahwa secara politis TNI AD masih kuat. Tidak ada lembaga negara lain yang sanggup mengontrolnya, termasuk Presiden selaku Panglima Tertinggi (Pangti). Karena setelah ini, rencananya masih akan dibentuk satu Kodam baru lagi, yakni di Riau. Praktis tidak ada lagi hambatan berarti, bila TNI (khususnya TNI AD) sudah berkehendak.

Kelak jumlah Kodam yang ada akan sama dengan  masa lalu, di suatu masa sebelum Jenderal Benny Moerdani (Panglima ABRI 1983-1988) mereorganisasi TNI, yang salah satu wujudnya berupa pengurangan jumlah Kodam.

Dalam sebuah pembicaraan informal dengan (pangkat dan jabatan saat itu) Brigjen TNI Moeldoko (Akmil 1981, Direktur Doktrin Kodiklatad) sekitar sepuluh tahun lalu, bahwa penambahan Kodam baru merupakan rencana strategis yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Menurut Moeldoko, pembentukan Kodam baru sebagai salah satu cara memperkuat posisi tawar terhadap negara tetangga, khususnya Malaysia. Pembicaraan itu terjadi sekitar Februari 2007, saat itu seolah Moeldoko sedang meramal perjalanan kariernya sendiri, karena pada tahun 2010, Moeldoko ditunjuk sebagai Panglima pertama Kodam XII/Tanjungpura (Pontianak), yang wilayahnya langsung berhadapan dengan Malaysia.

Tentu selain rencana strategis, pembentukan Kodam (baru) juga untuk memenuhi kepentingan taktis TNI AD. Sudah umum diketahui, bahwa sejak bergulirnya masa reformasi (1998),  banyak pos-pos sipil yang dahulu biasa diisi perwira TNI, dikembalikan pada figur sipil sepenuhnya. Dampaknya baru terasa sekarang.

TNI AD hari ini, sedang mengalami surplus perwira, khususnya pada pangkat kolonel, sehingga terjadi kemacetan (bottleneck) dalam pengembangan karier perwira.

Dibentuknya Kodam baru, diharapkan sedikit mengurai penumpukan kolonel di TNI AD. Selain itu, anggota TNI juga memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya, dalam memperoleh kesejahteraan. Dengan menjadi pati, akses mereka pada sumber kesejahteraan akan semakin mudah. Sementara dalam waktu bersamaan, slogan-slogan patriotik seperti "NKRI Harga Mati” tetap terawat dengan baik.

Posisi Panglima Tertinggi

Rencana peresmian Kodam baru itu secara kebetulan bersamaan waktunya dengan road show Presiden ke sejumlah satuan TNI dan Polri. Banyak pengamat melihat, bahwa kunjungan Presiden ke sejumlah satuan itu adalah bagian dari konfirmasi,  Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI (dan Polri).

Dalam hubungan dengan TNI, Jokowi acapkali dibandingkan dengan presiden sebelumnya (SBY), yang memang berasal dari tentara. Menilik latar belakangnya yang sipil, Jokowi dianggap tidak bisa mengontrol kalangan militer sepenuhnya, karena itu Jokowi meluangkan waktu untuk road show.

Asumsi bahwa Jokowi tidak bisa mengontrol sepenuhnya TNI, bisa juga dihubungkan dengan wacana pembentukan Kodam baru. Hampir mirip dengan respons masyarakat yang seolah tidak peduli, kira-kira Jokowi juga begitu. Jokowi tidak mau banyak berpolemik dengan pihak TNI AD dalam hal pembentukan Kodam (baru).

Artinya, sebagai presiden yang berasal dari kalangan sipil, Jokowi sudah tidak lagi menempatkan dirinya sebagai bagian dari civil society movement, yang umumnya bersikap kritis terhadap pembentukan Kodam baru. Dengan sadar Jokowi lebih memilih mengamankan kekuasaannya.

Dalam mengontrol TNI, tampaknya Jokowi lebih mendelegasikan kepada tiga orang kepercayaannya: Hendro Priyono, Luhut B Panjaitan dan Ryamizard. Tiga orang ini di masa aktif dulu, memang "macan-nya” Angkatan Darat. Dengan supervisi tiga figur inilah, Jokowi  berusaha membangun jaringannya sendiri di TNI. Sejak hari pertama sebagai Presiden, gejala itu sudah terlihat, dengan memilih ajudan (ADC) yang sebelumnya menjabat Dandim Solo.

Jokowi banyak merekrut koleganya, saat dia masih menjadi Walikota  Solo dulu. Kecenderungan itu terus berlangsung sampai saat ini. Sepanjang bulan November ini, nama Marsekal Madya Hadi Tjahjanto (AAU 1986) pelan-pelan mulai masuk dalam wacana politik di Jakarta.  Bulan-bulan sebelumnya namanya baru dikenal di kalangan terbatas, kini dia masuk kandidat KSAU, karena KSAU yang sekarang (Marsekal Agus Supriyatna, AAU 1983) akan pensiun. Hadi Tjahjanto baru awal November lalu memperoleh pangkat Marsekal Madya  dalam posisi  sebagai Irjen (Inspektur Jenderal) Kemenhan. Posisi sebelumnya adalah Sekretaris Militer Presiden, sebuah posisi bagi perwira tinggi di Istana.

Yang paling penting disampaikan adalah, saat Jokowi masih menjadi Walikota Solo, Hadi Tjahjanto adalah Komandan Pangkalan Udara Adi Soemarmo di Solo (2010-2012), dengan pangkat Kolonel. Kini sudah berpangkat Marsekal Madya, jadi hampir tiap tahun naik pangkat, sebuah kecepatan karier yang luar biasa.

Dengan hak prerogratifnya sebagai Pangti, Jokowi memang bisa mempromosikan siapa pun perwira yang dia kehendaki. Namun sebaiknya "pendekatan Solo” digunakan secara selektif. Kalau terlalu sering digunakan, dikhawatirkan justru menimbulkan resistensi dari TNI. Dan secara politis kurang menguntungkan Jokowi sendiri. Terlebih untuk periode mendatang ini, KSAU yang sedang menjabat, digadang-gadang bakal menjadi Panglima TNI berikutnya.

Penulis:

Aris Santoso (ap/as)

Sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai staf administrasi pada lembaga HAM (KontraS). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.