1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

NATO Bicara Tentang Akhir dari Dua Misinya

6 Oktober 2011

Pertemuan para menteri pertahanan pakta militer NATO di Brussel, hari Kamis (6/10) membicarakan akhir dari misi di Libya dan di Afghanistan.

https://p.dw.com/p/12nME
Polizisten vor einer Mauer mit der Aufschrift "Danke Nato" auf englisch. NATO Kampagne in Libyen. Foto: DW/Karlos Zurutuza, Libyen, Tripolis, September 2011
Polisi di Tripolis, LibyaFoto: DW

Setengah tahun setelah operasi di Libya, NATO dapat mengatakan „mission accomplished", sedangkan di Afghanistan sekitar sepuluh tahun setelahnya, meskipun dengan hasil yang masih jauh lebih kabur.

Kemenangan akhir pasukan Dewan Transisi Nasional Libya atau NTC, kelihatannya semakin dekat. Pasukan loyalis bekas penguasa Libya Muammar Gaddafi saat ini hanya melakukan perlawanan yang berarti di kota Sirte. Sekjen NATO Anders Fogh Rasmussen menunjukkan sikap optimis: "Jelas bahwa perang tidak lama lagi berakhir. Perjuangan tentara Gaddafi tidak ada gunanya. Kami bertekad untuk melanjutkan operasi kami selama bahaya masih mengancam."

Yang dimaksud adalah ancaman bagi warga sipil Libya. Karena misi NATO tidaklah untuk menghancurkan tentara Gaddafi, melainkan melindungi warga sipil dari serangan. Selama Dewan Transisi belum menguasai keadaan sepenuhnya, NATO akan melanjutkan misinya. Namun NATO tidak lagi memainkan peran penting bila tujuan itu sudah tercapai. Demikian diutarakan Rasmussen, sambil menawarkan bantuan untuk melakukan reformasi militer Libya, bila pemerintah negeri itu menginginkannya.

NATO Secretary-General Anders Fogh Rasmussen speaks during a media conference at NATO headquarters in Brussels, Wednsday, May 4, 2011. Fogh Rasmussen said Wednesday in Brussels that, although overthrowing Libyan leader Moammar Gadhafi is not one of NATO's military objectives, civilians would be safer if he were gone. (AP Photo/Yves Logghe)
Sekjen NATO, RasmussenFoto: AP

Pengalaman Libya tunjukkan kelemahan, terutama dari negara Eropa

Namun baik Rasmussen maupun Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Leon Panetta berpendapat bahwa pengalaman di Libya menunjukkan kelemahan NATO, terutama diperlihatkan negara-negara anggotanya dari Eropa. Menteri Pertahanan Amerika, Leon Panetta: " Kita harus belajar dari pengalaman di Libya, yaitu membangun keberhasilan dan menyingkirkan sejumlah kelemahan. Karena itu, pertemuan ini terutama telah merembukkan upaya agar dapat menjamin bahwa NATO memiliki kemampuan militer yang kita perlukan untuk sukses dalam operasi pada abad ke-21 dan juga pada saat  penghematan anggaran."

Tak hanya Libya, pertemuan NATO juga membahas operasi militer mereka lainnya di Afghanistan. Setelah sepuluh tahun, NATO kini mulai memikirkan strategi untuk menarik pasukannya dari sana. Menurut rencana, penarikan pasukan akan berlangsung hingga 2014. Sekjen NATO Rasmussen: "Ini adalah saat yang penting bagi Afghanistan. Proses peralihan berjalan sesuai rencana dan tidak akan terhenti. Saat ini militer Afghanistan mengontrol tujuh provinsi dan distrik. Kekuatannya semakin meningkat. Mereka telah menghadapi bahaya dan ancaman dengan berani, mampu dan memiliki tekad yang bulat."

epa02914859 Afghan soldiers take position at the scene after several armed Taliban militants launched attacks in Kabul, Afghanistan, on 13 September 2011. Several Taliban suicide bombers were hold up in a multi-storey building near several foreign embassies, launched attacks, that also targeted NATO's International Security Assistance Force (ISAF) headquarters. EPA/S. SABAWOON
Tentara Afghanistan di KabulFoto: picture-alliance/dpa

Kekhawatiran terhadap kekuatan ekstremis

Musim gugur tahun depan, Amerika juga akan menarik sepertiga dari jumlah pasukannya di Afghanistan. Namun, pemerintah Jerman memperingatkan untuk tidak terburu-buru melakukan penarikan. Pasalnya, jumlah tentara yang ditarik harus diganti oleh tentara Afghanistan sendiri dalam jumlah yang sama.

Setidaknya, semua pemerintah yang terlibat dalam misi di Libya dan Afghanistan kini lega karena akhir operasi militer mereka sudah dekat. Apalagi, di dalam negeri mereka dikritik warganya yang meminta pertangguanjawaban atas korban yang jatuh dan biaya perang yang tinggi. Namun masalahnya, sejumlah pengamat khawatir bahwa penarikan pasukan dari dua wilayah itu, akan dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis untuk memperbesar pengaruh mereka.

 

Christoph Hasselbach/Christa Saloh

Editor: Andy Budiman