1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

160811 NATO Libyen

16 Agustus 2011

Pasukan Gaddafi tembakkan rudal Scud untuk menyerang pemberontak. NATO mengatakan, penembakan rudal itu menunjukkan keputusasaan Gaddafi. NATO juga menyatakan yakin bahwa hari-hari Gaddafi semakin mendekat.

https://p.dw.com/p/12I08
epa02753374 Libyan rebel fighters keep their position on the front line, 25 km west from Misrata, Libya, 26 May 2011. According to media sources, Libyan forces loyal to leader Muammar Gaddafi used mortar shells on 26 May to attack the rebels in Misrata, while Amnesty International warned on 25 May that anti-personnel mines could litter the town amid new evidence that Gaddafi forces placed them in residential areas. EPA/MISSAM SALEH
Pemberontak Libya di MisrataFoto: picture alliance / dpa

Untuk pertama kalinya sejak perang saudara pecah di Libya, pasukan pendukung penguasa negeri itu Muammar Gaddafi menembakkan peluru kendali jarak jauh Scud untuk memerangi pemberontak. Kalangan militer AS di Washington mengemukakan, rudal itu jatuh hari Minggu (14/8) lalu di padang pasir, sebelah timur kota Brega. Tak seorangpun dilaporkan terluka. Rudal itu ditembakkan dari kota Surt, sekitar 370 kilometer sebelah timur dari Tripoli. Namun, karena rudal Scud tidak memiliki peluru jitu, tidak dapat dipastikan dengan jelas, apakah Brega merupakan target rudal itu.

Carmen Romero, seorang jurubicara NATO di Brussel mencela penembakan rudal tersebut: „Ini menunjukkan bahwa Gaddafi putus asa. Meski rezimnya masih tetap merupakan ancaman serius bagi warga sipil Libya yang tak bersalah."

Scud bukan ancaman bagi NATO

Dari segi militer, rudal Scud bukan merupakan ancaman bagi NATO, ujar Kolonel Roland Lavoie dari Kanada. Sejak dimulainya serangan udara NATO, sudah diketahui bahwa Gaddafi memiliki rudal ini. Selanjutnya dikatakan, pesawat-pesawat aliansi militer Atlantik telah menghancurkan sejumlah besar rudal jenis tersebut dalam serangan udaranya: „Kami berhasil menghancurkan sebagian dari arsenal senjata Gaddafi. Sekarang dia melakukan tindakan yang menunjukkan keputusasaan untuk menarik perhatian kami. Ini mirip seperti melemparkan piring ke dinding. Ribut, tetapi tidak lebih dari itu."

Sikap tenang semacam ini tampaknya juga ditunjukkan oleh sejumlah besar negara anggota pakta militer tersebut. Banyak wakil negara NATO di markas besarnya di Brussel berpendapat, faktor waktu menguntungkan NATO. Gaddafi tidak akan dapat lebih lama lagi bertahan. Perkiraan ini juga didukung keberhasilan pemberontak Libya merebut wilayah tertentu: „Pada hari-hari terakhir kami melihat bahwa pasukan anti-Gaddafi dengan jelas dapat bergerak maju di berbagai titik. Di barat laut Libya, di mana pasukan Gaddafi jelas terpukul mundur dan juga di wilayah Misrata dan Brega.

Membawa ketenangan di daerah tertentu

Wilayah timur dari kota Brega yang diperebutkan melalui pertempuran sengit, kini di bawah kekuasaan pemberontak. Demikian diutarakan Roland Lavoie, juru bicara operasi NATO di Libya. Kemenangan pasukan yang bertempur melawan Gaddafi membawa ketenangan di daerah-daerah yang berhasil direbut dari tangan pasukan Gaddafi. Para pengungsi kembali pulang ke rumahnya, demikian diumumkan NATO. Tujuh puluh persen warga Libya yang sebelumnya mengungsi ke Tunisia, kini sudah kembali ke desa dan rumah masing-masing, tambah Lavoie yang mengacu pada sumber berita dari organisasi bantuan pengungsi PBB, UNHCR.

Meski pemberontak berhasil merebut wilayah kekuasaan, di markas besar NATO tampaknya mulai terdengar perdebatan mengenai bagaimana tindakan selanjutnya, bila gencatan senjata diterapkan. Yang pasti, NATO tetap tidak akan mengirimkan pasukan darat ke Libya. Banyak negara beranggapan bahwa PBB-lah yang kemudian harus turun tangan.

Christoph Prössl/Christa Saloh

Editor: Carissa Paramita