1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Negara Ambang Industri Ancam Iklim Dunia?

17 November 2011

Akibat krisis iklim gobal, kenaikan ekonomi negara-negara ambang industri menyebabkan kekhawatiran, bumi akan kehabisan sumber daya alam. Sebelum Konferensi Rio+20 tahun depan, tekanan negara-negara industri meningkat.

https://p.dw.com/p/13CjO
** ARCHIV ** Rauch steigt am 5. Juni 1996 aus den Kuehltuermen eines Kraftwerks in einem von starker Luftverschmutzung betroffenem Vorort von Kapstadt, Suedafrika, auf. Suedafrika gewinnt 90 Prozent der Energie aus Kohlekraftwerken, entsprechend hoch ist die Luftverschmutzung. Die Regierung setzt ausserdem auf Atomenergie - Suedafrika ist das einzige afrikanische Land, das einen Atomreaktor in Betrieb hat. (AP Photo/Sasa Kralj) ** zu APD1996 ** --Electrical cooling towers of a power plant emit smoke at dawn, over Cape Town's highly polluted suburbs Wednesday, June 5, 1996. Cape Town is one of the world richest flora resorts and has been chosen to host the marking of the World Enviroment Day, starting Wednesday with related activities taking place over the next seven days. (AP Photo/Sasa Kralj)***Zu Stäcker, Südafrika tappt im Dunkeln – Energiekrise in Südafrika***
Reaktor nuklir di Afrika SelatanFoto: AP

Ketika pemerintah banyak negara Industri dan ambang industri mencari definisi bersama "ekonomi hijau", Fritz Holzwarth, kepala bagian penangangan air dalam Departemen Lingkungan Hidup Jerman setidaknya dapat menyebutkan, apa yang tidak termasuk istilah tersebut. Menurutnya, "Ekonomi hijau bukan istilah yang menetapkan, apa yang harus dilakukan negara-negara kaya, dan apa langkah yang harus diambil negara-negara berkembang.“

Tetapi suasana perpecahan ini sekarang mendominasi semua perundingan tentang politik iklim dan perlindungan iklim. Kecaman terhadap negara-negara yang mengalami perkembangan ekonomi di masa krisis iklim aktual semakin tajam. Padahal semua politisi dan ilmuwan berusaha menyelaraskan langkah. Itu juga bisa dilihat di konferensi tentang air, energi dan penyediaan bahan pangan, yang berlangsung dari tanggal 16 sampai 18 November di Bonn, yang menjadi persiapan bagi Konferensi Rio+20.

"Bahwa dunia sekarang berada dalam situasi buruk, tidak disebabkan negara-negara ambang industri. Semua mengetahui tanggung jawab negara-negara kaya, merekalah pengotor besar lingkungan. Tuduhan datang dari mereka yang ingin menjunjung tinggi keunggulan, tanpa bersedia menerima perubahan besar,“ demikian argumentasi peneliti Crispino Lobo dari NGO Watershed Organization Trust.

Bersalah atau Tidak?

"Setiap negara punya hak untuk mengembangkan diri. "Ekonomi hijau' tidak boleh menjadi halangan bagi perkembangan. Apakah itu yang terjadi di negara-negara ambang industri? Mungkin tidak. Tetapi mungkin negara-negara kaya juga harus mengubah diri secara drastis, misalnya sikap konsumsi mereka,“ demikian dikatakan Alexander Muller dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).

BdT 27.11.07 Ernteeinbußen in Indien durch globale Erwärmung
Kekeringan akibat pemanasan globalFoto: AP

Itu mengubah sikap konsumsi di negara-negara seperti Brasil, Cina dan India, di mana akibat tingkat kemakmuran yang semakin tinggi, permintaan atas daging dan produk-produk susu bertambah drastis, dianggap sebagai salah satu halangan terbesar bagi penggunaan sumber daya alam secara berkelangsungan. Ilmuwan tidak dapat mengatakan dengan tepat, apa yang akan terjadi, jika seluruh penduduk Cina, yang diperkirakan berjumlah 1,3 milyar, memiliki gaya hidup seperti warga AS. Jika itu terjadi, tahun ini saja, dalam teorinya dibutuhkan lebih dari satu planet untuk memuaskan kebutuhan manusia. Itulah perkiraan Global Footprint Network.

Fritz Holzwarth dari Departemen Lingkungan Hidup Jerman juga berpendapat, negara-negara ambang industri punya hak berkembang. Tetapi ia menganjurkan, untuk tidak memandang politik setiap sektor secara terisolir. "Misalnya bahan bakar bio di Brasil. Dalam hal itu perhatian hanya diarahkan pada pengurangan CO2, tetapi dampaknya pada air, lingkungan hidup, penduduk asli, hutan tidak diperhatikan. Brasil juga harus memperhatikan hal itu,“ demikian kritik Holzwarth.

Di lain pihak ia memberikan saran untuk memperhatikan bahwa masyarakat perlu waktu hingga dapat mengembangkan rasa cinta lingkungan. "Di Eropa waktu yang diperlukan sekitar 20 tahun,“ demikian Holzwarth. "Tentang negara-negara kaya saya bisa mengatakan, bahwa kita tidak cukup mengkritik diri sendiri. Dan kita tahu, selama tidak ada perubahan di negara-negara maju, misalnya AS, di negara-negara berkembang juga tidak akan ada perubahan.“

"Semuanya Kemunafikan“

Klimawandel Dürre
Pemanasan global dapat menyebabkan gagal panen di IndiaFoto: AP

Ilmuwan AS David Zetland, yang sekarang meneliti di Universitas Wageningen di Belanda menilai, ada sisi buruk politik yang disembunyikan di balik harapan terhadap negara-negara ambang industri. "Itu semua kemunafikan besar. Memang benar, bahwa negara-negara maju tidak ingin, bahwa negara-negara berkembang melakukan kesalahan sama, yang sudah menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan. Tetapi, kekuatan ekonomi tradisional juga tidak ingin jika sektor-sektor tertentu di negara-negara ambang industri semakin berkembang.“

Dalam diskusi tentang "ekonomi hijau" India mungkin bisa mengaku melakukan sebuah kesalahan. Demikian dikatakan Crispino Lobo, ilmuwan yang berasal dari India. "Kita tidak berusaha dalam tempo yang benar dan dalam kapasitas yang sesuai untuk mencapai ekonomi yang berkesinambungan dengan penghasilan CO2 sekecil mungkin.“ Menurut peneliti itu, skenario masa depan yang dibuat selama ini tidak banyak menjanjikan. "Tantangan terbesar kita adalah, dalam memproduksi energi dalam ritme perkembangan ekonomi negara kita. Saya rasa, kita masih akan lama tergantung pada minyak.“


Nádia Pontes/ Marjory Linardy
Editor: Ayu Purwaningsih