1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Negara di Tengah Krisis Politik dan Serangan Bom

22 Desember 2011

Sedikitnya 69 orang tewas akibat serangkaian serangan bom yang mengguncang Bagdad hari Kamis (22/12). Keamanan tetap merupakan persoalan terbesar Irak yang tengah menghadapi krisis politik dan ketegangan sektarian.

https://p.dw.com/p/13Xb1
Foto: AP

Serangan bom yang tampaknya dikoordinir itu merupakan isyarat pertama meningkatnya kekerasan setelah PM Syiah Nuri al Maliki mengambil langkah untuk memberhentikan dua pemimpin Sunni. Lebih dari 10 serangan bom mengguncang Bagdad, Kamis ini (22/12) menewaskan sedikitnya 57 orang dan mencederai 179 lainnya.

Aksi kekerasan di Irak sebetulnya mereda sejak puncak kekerasan sektarian tahun 2006-2007. Ketika itu bom bunuh diri dan kelompok penembak gelap menjadikan kelompok Sunni dan Syiah sebagai sasaran dalam serangan-serangan yang menewaskan ribuan orang dan mendorong Irak ke ambang perang saudara.

Selama akhir pekan lalu ribuan pasukan Amerika terakhir ditarik keluar dari Irak setelah invasi 9 tahun yang menumbangkan diktator Saddam Hussein. Banyak warga Irak menyatakan kuatir akan kembalinya kekerasan sektarian tanpa militer Amerika sebagai penyangga.

Pemerintah rentan

Wakil Presiden Irak, Tareq al Hashemi mengatakan, "Pernyataan Presiden Obama mengejutkan saya. Dia bilang Amerika meninggalkan Irak yang demokratis, dengan peradilan yang jujur, transparan, tanpa korupsi. Apa yang dimaksud Presiden Amerika? Apa begitu kenyataan di Irak? Di balik semua ini ada Al Maliki! Seluruh negeri ini ada di tangan Al Maliki!”

Irak Vizepräsident Tarek el Haschemi
Tareq al Hashemi bersedia diadili, tapi tidak di BagdadFoto: picture-alliance/dpa

Beberapa hari setelah penarikan pasukan Amerika, pemerintahan koalisi Irak -yang memang rentan- menghadapi kekacauan terburuk sejak dibentuk setahun lalu. Blok Syiah, Sunni dan Kurdi berbagi pos pemerintahan dalam sebuah sistem yang sulit dipakai, yang sejak awal sudah dihadang konflik politik.

PM Nuri al Maliki yang Syiah, Senin lalu (19/12) memerintahkan penangkapan Wakil Presiden Tareq al Hashemi yang Sunni, dengan tuduhan mengorganisir pembunuhan dan pemboman. Maliki juga meminta parlemen untuk memecat wakilnya dari Sunni, Saleh al Mutlaq, setelah ia menyamakan Maliki dengan Saddam. Tindakan terhadap para pemimpin senior Sunni memicu ketegangan sektarian karena Sunni kuatir PM ingin mengkonsolidasikan penguasaan Syiah di negara itu.

Tak saling percaya

Jurnalis Kurdi Hiar Osman mengatakan, "Masalah utamanya adalah tidak adanya saling percaya antara Syiah dan Sunni dan kubu politik mereka. Bersama AS, kubu-kubu politik ini gagal membuka era baru di Irak dan membangun saling percaya antara Sunni dan Syiah. Dalam kasus kongret itu berarti tidak ada campur tangan politik dalam proses peradilan dan bahwa sidang dijamin berlangsung adil, siapapun orang yang diadili."

PM Maliki menyerukan kepada pemerintah regional Kurdi di utara Irak untuk menyerahkan Hashemi guna diadili. Hashemi yang berada di Erbil, di bawah perlindungan pemerintah regional Kurdi, membantah semua tuduhan. Namun ia mengatakan siap diadili di Erbil, dan tidak di Bagdad.

Minoritas Sunni di Irak merasa dipinggirkan sejak bangkitnya mayoritas Syiah di Irak, setelah invasi Amerika tahun 2003. Mereka merasa, pemerintahan yang dipimpin Syiah berusaha agar Sunni, yang pernah mendominasi negara itu dibawah Saddam Hussein, tidak akan pernah berkuasa kembali.

Renata Permadi/ afp,dpa,rtr

Editor: Agus Setiawan