1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

200511 Obama Natanjahu

20 Mei 2011

Perubahan kebijakan Timur Tengah AS yang diumumkan Presiden Barack Obama dalam pidatonya baru-baru ini membuat geram PM Israel Netanyahu. Pertemuan keduanya di Washington, Jumat (20/5), gagal meredakan ketegangan.

https://p.dw.com/p/11Ki4
President Barack Obama meets with Prime Minister Benjamin Netanyahu of Israel in the Oval Office at the White House in Washington, Friday, May 20, 2011. (Foto:Charles Dharapak/AP/dapd)
Presiden AS Barack Obama (ka.) dan PM Israel Benjamin Netanyahu (ki.) di Gedung PutihFoto: dapd

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Barack Obama dalam pertemuan singkat hari Jumat (20/5) di Gedung Putih, berusaha meredakan ketegangan yang timbul pasca pidato Obama soal Timur Tengah sehari sebelumnya. Kedua kepala negara mengakui adanya "perbedaan" pendapat menyangkut perdamaian di kawasan tersebut.

Obama mencoba meluruskan dengan menegaskan keamanan Israel sebagai prioritas utama menuju perdamaian.

Netanyahu sebaliknya menggarisbawahi betapa arah kebijakan Timur Tengah milik pemerintah Amerika Serikat yang diumumkan Obama hari Kamis, kembali memperlebar jurang dalam hubungan antara kedua negara. Ia memperingatkan terhadap langkah terburu-buru menuju perdamaian.

"Perdamaian yang dibangun berdasarkan ilusi suatu saat nanti akan hancur oleh realita di Timur Tengah, " katanya. Menurut politikus Partai Likud itu satu-satunya perdamaian yang dapat bertahan adalah yang berdasar pada "kenyataan" dan pada "fakta yang tidak tergoyahkan."

Dalam pidatonya hari Kamis (19/5) Obama mendesak, masa depan negara Palestina harus berdasar pada garis perbatasan sebelum perang tahun 1967. Dalam perang enam hari tersebut, Israel merebut Tepi Barat dan Jerusalem Timur dari Yordania, Dataran Tinggi Golan dari Suriah, dan Jalur Gaza dari Mesir.

"Israel tidak akan kembali ke perbatasan 1967"

Obama mengatakan perjanjian damai seharusnya mencakup pertukaran tanah yang disepakati bersama untuk menciptakan negara Palestina yang layak dan Israel yang aman. Wacana tersebut mendapat dukungan dari Quartet Timur Tengah yang meliputi Uni Eropa, Rusia dan PBB. Kendati begitu buat Netanyahu, tuntutan tersebut hanyalah ilusi belaka.

"Palestina harus menerima sejumlah kenyataan. kami tidak dapat kembali ke garis batas 1967, karena tidak dapat dipertahankan," tukasnya.

Kedua kepala negara juga membahas masalah hak kembali bagi pengungsi Palestina yang terusir dari tanahnya sejak perang enam hari tahun 1967. Hal tersebut termasuk ke dalam tuntutan utama Palestina di setiap perundingan damai dengan Israel.

Pada pidatonya hari Kamis kemarin Obama hampir tidak menyinggung masalah tersebut. Hal ini kemudian disesalkan oleh Netanyahu. Menurutnya mengakui hak kembali bagi pengungsi Palestina berarti kehancuran bagi negara Israel.

Netanyahu: Abbas harus memilih antara Hamas atau perdamaian

Netanyahu mengatakan, satu-satunya solusi bagi masalah pengungsi adalah mengembalikan mereka ke dalam wilayah Palestina dan bukan Israel. "Itu tidak akan terjadi. Semua orang tahu itu tidak akan terjadi. Dan saya kira ini saat yang tepat untuk mengatakan kepada Palestina, itu tidak akan terjadi."

Kedua kepala negara menegaskan, Palestina tidak dapat melanjutkan upaya perundingan yang serius selama belum ada sikap yang jelas seputar kedaulatan Israel sebagai negara Yahudi. Obama merujuk pada rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah awal tahun ini. Hamas hingga kini masih menolak mengakui Israel.

PM Netanyahu mengatakan, Presiden Palestina Mahmud Abbas harus memilih antara bersekutu dengan Hamas atau berdamai dengan Israel. Abbas dikabarkan segera menelepon Obama seusai konfrensi pers dengan Netanyahu di Washington. Belum jelas apa yang dibicarakan kedua kepala negara. Hari Selasa depan Netanyahu dijadwalkan akan menyampaikan pidato di Capitoll Hill atas undangan Partai Republik.

Rizki Nugraha//dpa/rtr/ap/afp
Editor: Christa Saloh-Foester