1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Obituari : Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Wangari Maathai

Agus Setiawan26 September 2011

Wangari Maathai, pemenang hadiah Nobel perdamaian perempuan yang pertama dari Afrika, meninggal dunia Minggu (25/9) dalam usia 71 tahun akibat penyakit kanker.

https://p.dw.com/p/12giZ
Wangari Maathai (foto arsip)Foto: picture-alliance/dpa

Pendiri organisasi lingkungan “Green Belt Movement“ itu sejak lebih empat dekade aktif di negerinya, Kenya, untuk gerakan penghijauan dan memberantas kemiskinan. Gerakan penghijauan yang digagas Wangari Maathai, berupa penanaman pohon berbasis komunitas warga, menyebar jauh melewati batasan hutan di Kenya maupun Afrika. Warga Kenya menjulukinya sebagi Mama Miti atau “Ibu Pepohonan“.  Hal itu merupakan pengakuan bagi jerih payahnya di bidang konservasi lingkungan selama lebih dari empat dekade. “Impak terbesar dari gerakan ini adalah, memberikan harapan dan menanamkan kekuatan kepada kaum perempuan biasa“, kata Wangari Maathai. Kaum perempuan di Kenya kebanyakan tidak bisa menulis dan membaca. Setelah bergabung dengan gerakan lingkungan, mereka dapat merespon dengan cepat berbagai kasus yang terjadi. Ia memandang aksinya sebagai jalan untuk membantu komunitas secara keseluruhan.

Wangari Maathai adalah professor biologi lulusan Amerika Serikat dan Jerman yang sebetulnya dapat meraup gaji tinggi di pemerintahan Kenya tahun 80-an di bawah presiden Daniel Arap Moi. Namun Maathai memilih untuk menjadi pejuang hak-hak kaum perempuan, pembela hak asasi dan penentang korupsi. Akibat aktifitasnya, menentang rezim korup dari presiden Arap Moi, dari tahun 1976 hingga 2002 ia berkali-kali diancam dibunuh, dipukuli pendukung rezim dan harus mendekam di dalam penjara.

Setelah jatuhnya pemerintahan Arap Moi tahun 2002, Maathai memangku jabatan sebagai wakil menteri lingkungan Kenya dari tahun 2003 hingga 2005. Di dalam masa jabatannya sebagai pejabat tinggi pemerintah, pada tahun 2004, ia dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian untuk kontribusinya bagi pembangunan berkelanjutan, demokrasi dan perdamaian.

Walaupun mendapat simpati besar di seluruh dunia dengan meraih lebih 50 penghargaan, Wangari Maathai juga memicu kontroversi dan mendapat kritik tajam, berkaitan dengan komentarnya mengenai virus AIDS. Ia menuduh barat membiakkan virus AIDS di laboratorium, dengan tujuan untuk memusnahkan warga kulit hitam.

Gagal di Ranah Politik Kenya

Di tanah airnya, Kenya, Wangari Maathai yang meraih berbagai penghargaan internasional bergengsi, ternyata gagal meraih sukses di bidang politik. Dalam pemilu presiden dan pemilu parlemen tahun 2007, di wilayah pemilihannya, Maathai kalah telak. Karir politiknya juga mandeg. Namun kiprahnya dalam konservasi lingkungan dan pemberdayaan kaum perempuan terus dilanjutkan secara konsekuen.

“Kita harus melakukan semua upaya untuk melindungi lingkungan. Jika kita tidak melakukannya, berarti kita membiarkan generasi mendatang menderita dan  mati,“ ujar Maathai menandaskan.

Terlepas dari ketidak berhasilannya di bidang politik dalam negeri, mendiang Wangari Maathai meninggalkan warisan yang akan dikenang sepanjang sejarah. Selain karya nyata berupa penanaman lebih 40 juta pohon untuk penghijauan kembali di Afrika, Maathai juga menanamkan pemikiran konservasi lingkungan berbasis komunitas. Dengan itu pula, dilakukan pemberdayaan kaum perempuan di Afrika, untuk lebih memahami hak-haknya dan menjadikannya sebagai pegiat pelestarian lingkungan.    

Agus Setiawan/dpa/rtr/kna/dw

Editor : Dyan Kostermans