1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Occupy 2.0?

Todd Gitlin 17 September 2012

Gerakan Occupy, yang muncul satu tahun lalu, menimbulkan berbagai reaksi; terkejut, penoöakan, bahkan kemarahan. Bagi penulis Todd Gitlin, gerakan protes ini sangat misterius dan juga membuka pikiran.

https://p.dw.com/p/16AXV
Foto: AP

Apa yang terjadii di kota New York setahun lalu adalah sesuatu antara rekaman sekilas dan gerakan, demikian dikatakan Marshall Ganz ppakar perilaku organisasi. Demam Occupy menular, karena kecerdikan dan keberaniannya, yang mampu memobilisasi ratusan dan kemudian ribuan orang. Gerakan ini menemukan cara untuk mengekspresikan perasaan yang tumbuh luas di masyarakat bahwa plutokrasi adalah kandang besi.

Salah satu slogan yang populer dari gerakan ini adalah “Banks got bailed out, we got sold out“ – “Bank ditalangi, kami dijual”. Gerakan ini berhasil menunjukkan bahwa kekuatan plutokrasi dapat menimbulkan krisis moral. Dengan kekuatan dan kelihaiannya, gerakan ini merupakan upaya untuk membangkitkan kembali moral tersebut.

Dan secara tidak terduga, kamp demonstrasi di dekat Wall Street dan ratusan kamp di kota lainnya menjadi titik awal dari berbagai gerakan yang dikuti oleh puluhan ribu, kemudian ratusan ribu demonstran. “1 persen dan 99 persen (99 persen warga yang hidupnya ditentukan 1 persen warga lainnya) menjadi istilah umum dan ketidaksetaraan yang menonjol menjadi perhatian umum.

Gerakan Occupy berhasil menjadikan minoritas istimewa menjadi bahan olokan masyarakat luas. Kaum elit perekonomian ini hanya mementingkan kantong mereka sendiri: mereka memanfaatkan deregulasi dan politik yang korup untuk keuntungan sendiri, sehingga menghancurkan kepentingan bersama dan merekapun dapat lolos begitu saja, begitulah anggapan yang menyebar.

Tokoh Keras dengan Dukungan Luas

Banyak dari penggagas Occupy sebenarnya merupakan tokoh anarkis dan radikal demokrasi, yang bercita-cita memiliki pemerintahan sendiri dengan sistem demokrasi langsung, satu majelis yang “horizontal“. Namun sebagian besar orang-orang yang turun berasal dari masyarakat kelas menengah, anggota serikat buruh, kaum progresif dari berbagai aliran. Memang mereka tidak fotogenik, tidak terlalu menonjol, tapi jauh lebih banyak. Mereka merupakan kombinasi dari semangat gerakan dasar dan massa gerakan besar, yang ingin memperbaharui lanskap politik.

Hal ini dimungkinkan karena Occupy merupakan gerakan sosial pertama di Amerika Serikat, ide dasarnya dari awal didukung oleh mayoritas – sebuah awal yang menjanjikan. Tapi setelah beberapa bulan, daya tarik gerakan ini melemah. Di bulan Agustus 2012, semakin banyak warga Amerika yang tidak mengidentifikasikan diri dengan Occupy atau hanya “sedikit“.

New Yorker Polizei gegen die Occupy-Bewegung
Occupy Wall Street telah mengubah budaya politik dan sosial Amerika Serikat. Tapi apakah akan berkelanjutan?Foto: picture alliance/ZUMA Press

Masih Terbukti Sukses

Pertama: budaya politik telah berubah. Terminologi gerakan menjadi lebih terkenal, karena berhasil merangkum perasaan bahwa para penguasa merupakan pihak yang sombong dan mementingkan diri sendiri, tidak kompeten dan tidak mampu memperbaiki kerusakan yang telah mereka buat.

Kedua: gerakan telah mendorong politik konvensional. Munculnya Occupy bahkan mengesankan Partai Republik, sampai dalam kampanye pemilihan kandidat presiden, politisi ultra-konservatif Newt Gingrich menyebut Mitt Romney sebagai predator kapitalis. Ini hanya sedikit membantu Gingrich, namun merupakan keuntungan yang besar bagi kampanye Obama. Secara keseluruhan, Partai Demokrat menangani Occupy secara lebih hati-hati, karena kekhawatiran akan timbulnya dugaan yang negatif jika Demokrat lebih mendekatkan diri pada gerakan ini.

Ketiga: bahkan bank-bank besar merasakan tekanan. Beberapa biaya bank dibatalkan, uang “kompensasi“ bagi para direktur ditarik. Pada pertemuan pemegang saham Citigroup tahun 2011 lalu, 55 persen dari pemegang sahan, meskipun tidak mengikat, menolak pembayaran sebesar 14,9 juta Dollar kepada presiden perusahaan.

Keempat: beberapa gerakan lokal mampu membatalkan eksekusi penyitaan rumah dan mengacaukan aksi penggusuran rumah.

Pada waktu yang bersamaan, pemerintah kota telah menyapu kamp demonstrasi Occupy, Dalam tubuh gerakan Occupy terjadi konflik praktis dan idiologis. Celah semakin dalam. Beberapa aktivis tidak tahu lagi harus berdiri di posisi mana, juga karana sikap keras yang ditunjukkan pihak berwenang. Polis menjadi ahli dalam mengintiimidasi, memabangun pagar dan dalam penggunaan bahan kimia beracun. Bahkan mereka tiba dengan menggunakan kendaraan lapis baja.

Unjuk kekuatan ini telah mengacaukan taktik gerakan. Kerusuhan pun terjadi. Tidak peduli siapa yang pertama melempar atau siapa yang pertama memcahkan kaca jendela, pada akhirnya kesalahan ditimpakan pada para demonstran. Kamp demonstrasi tidak selalu menunjukkan, seperti slogan mereka, bahwa “satu dunia lain memungkinkan“, kecuali mungkin dunia yang lebih meresahkan, bahkan mengancam.

Todd Gitlin Columbia University Occupy Bewegung
Todd GitlinFoto: Jill Krementz

Gerakan Harus Sesuai dengan Massa

Sekarang apa? Gerakan Occupy masih dapat berkembang menjadi satu gerakan jangka panjang dengan memainkan kartu yang tepat. Untuk itu, gerakan ini harus merangkul massa yang luas, tidak hanya minoritas kecil yang lapar akan partisipasi 100 persen dalam politik. Baik pihak radikal ataupun reformis, memerlukan kekuatan tambahan. Semua awal, tidak peduli betapa menjanjikan, tidak bisa selamanya mempertahankan momentum, yang diperlukan gerakan untuk meninggalkan jejak besar. Hampir tidak cukup terdapat anarkis dan revolusioner untuk mengubah negara.

Tahap berikutnya, jika memang ada, adalah membangun di atas fondasi yang telah ditanamkan oleh Occupy. Ini memerlukan penilaian bijaksana mengenai apa yang telah dicapai dan apa yang belum. Pandangan saya sendiri adalah bahwa Occupy 2.0 membutuhkan konfigurasi ulang. Gerakan ini harus didukung oleh berbagai jaringan dan organisasi. Dan hal ini tidak bisa dilakukan secara horizontal, karena akan terlalu banyak menguras energi.

Todd Gitlin adalah profesor jurnalisme dan sosiologi di Columbia University dan penulis buku “Occupy Nation: The Roots, the Spirit, and the Promise of Occupy Wall Street.