1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Olahraga dan Hak Asasi Manusia

Christina Ruta14 Juni 2012

Di Cina, Ukraina atau Qatar – pemerintahan otokratis bangga berkesempatan menjadi tuan rumah ajang olahraga besar dan memanfaatkannya untuk mempromosikan negara mereka.

https://p.dw.com/p/15EXm
Foto: AP

Pesta pembukaan yang megah, stadion yang modern, gegap gempita penonton dan bintang-bintang internasional – olimpiade dan turnamen sepak bola internasional merupakan promosi yang sempurna bagi negara tuan rumah. Wisatawan datang dari manca negara dan tidak jarang politisi papan atas juga berkunjung.

Hal ini juga benar-benar disadari oleh negara-negara penyelenggara even olahraga besar, juga oleh negara dengan pemerintahan otokratis. “Bagi penguasa otokratis ini dapat mengangkat citra mereka, jika ajang megah seperti ini berlangsung di negara mereka,“ dikatakan Wenzel Michalski, kepala LSM Jerman Human Rights Watch. Piala Eropa atau sejenisnya dijadikan propaganda, kata Michalski. Kepada dunia dan rakyat sendiri ditunjukkan bahwa situasi di sana tidaklah sesuram seperti yang digambarkan oleh para penentang pemerintah; bahwa di sana terdapat kehidupan yang penuh warna, orang-orang yang berbahagia dan dunia datang berkunjung untuk mengagumi negara dan pemerintahnya. “Rakyat disuguhkan olahraga populer agar mereka tidak berani memberontak.“

Bildgalerie Jahresrückblick 2008 August China
Olimpiade 2008 BeijingFoto: AP

Diktator Penggemar Olahraga

Bahwa ajang olahraga besar digelar di negara-negara otoriter bukanlah satu fenomena baru. Ansgar Molzberger, sejarawan olahraga di Sekolah Tinggi Olahraga Köln, memberikan contoh Olimpiade 1988 di Seoul, Korea Selatan, Piala Dunia FIFA 1978 di Argentina dan Olimpiade 1968 di Mexico City, Meksiko, di mana sebelum ajang digelar, pemerintah menindak demonstrasi mahasiswa dengan kekerasan.

Bagi Mohlzberger ada satu hal yang paling menonjol, “Olimpiade di Berlin tahun 1936 merupakan satu contoh bagaimana pada saat itu diktatur Nazi memanfaatkan satu pesta olahraga besar untuk mengalihkan perhatian dari situasi sebenarnya di Jerman.“ Molzberger tapi mencatat, keputusan Ukraina sebagai tuan rumah Piala Eropa diambil tahun 2007 saat Viktor Yushchenko dan Yulia Tymoshenko masih berkuasa dan saat Ukraina berada dalam proses menuju Uni Eropa.

Kriteria penting dalam memilih tuan rumah ajang olahraga besar adalah bahwa satu negara setidaknya diberi kesempatan sebagai penyelenggara dan mampu menghadapi tantangannya, seperti menyediakan stadion dan infrastruktur yang memadai. Namun keputusan Komite Olimpiade Internasional IOC, Federasi Internasional Sepak Bola FIFA dan juga Uni Sepak Bola Eropa UEFA diambil secara kompleks dan tidak transparan. Sering muncul rumor bahwa suara pemilih dapat dibeli namun biasanya hal ini tidak dapat dibuktikan.

Hitler im Olympiastadion
Hitler di stadion Olimpiade Berlin tahun 1936Foto: picture-alliance/akg-images

Ajang bagi Aktivis HAM

Sering kali IOC dan FIFA membela keputusan penunjukan tuan rumah dengan mengatakan bahwa olahraga dapat membangun satu jembatan yang secara tidak langsung dapat mendorong perbaikan situasi hak asasi manusia di negara tuan rumah. Dan aktivis HAM Wenzel Michalski dari Human Right Watch juga melihat kemungkinan ini, “LSM dan politisi internasional yang kritis dapat memanfaatkan ajang-ajang besar untuk menarik perhatian pada pelanggaran hak asasi manusia, yang biasanya tidak atau hanya sedikit diamati. Ini dapat meningkatkan tekanan pada pemerintah.”

Dan memang, Olimpiade di Beijing tahun 2008 tampaknya telah menjadi ajang terutama bagi para oposisi untuk menunjukkan perjuangan mereka – seperti halnya sekarang di Ukraina dalam Piala Eropa 2012. Saat Olimpiade di Beijing, foto-foto para biksu Tibet yang berdemonstrasi tersebar ke seluruh dunia, seperti foto Yulia Tymoshenko yang terbaring sakit di Ukraina. Foto-foto yang muncul saat even besar seperti ini lebih mudah dapat terus diingat dunia. Namun bagaimanapun, liputan media oposisi seperti ini pada umumnya tidak membawa pada terjadinya proses demokratisasi di negara yang bersangkutan.

Nepal, Polizisten entreißen eine tibetische Flagge von einem tibetischen Demonstrant in Katmandu
Pasukan keamanan berusaha merebut bendera Tibet dari tangan seorang biksu, saat demonstrasi di Kathmandu, NepalFoto: AP

Tidak Banyak yang Berubah

Korea Selatan adalah pengecualian. “Sebagai contoh, sejak Seoul pada tahun 1981 ditunjuk sepagai kota penyelenggara (Olimpiade 1988) sampai penyelenggaraannya, terjadi proses demokratisasi di Korea Selatan,” dikatakan sejarawan olahraga Ansgar Molzberger. Olimpiade yang membuat pandangan dunia diarahkan ke negara itu menjadi faktor penting perkembangan tersebut. Namun, Olimpiade di Beijing tahun 2008 dan di Berlin tahun 1936 serta Piala Dunia FIFA 1978 di Argentina adalah contoh sebaliknya.

Menurut Wenzel Michalski, kebanyakan ajang internasional tidak menimbulkan perubahan besar di negara tuan rumah. Karena biasanya dengan berakhirnya ajang tersebut, perhatian juga beralih. Namun, Michalski melihat, bagaimananpun ajang seperti ini memiliki dampak jangka pendek atau menengah setidaknya terhadap para tahanan politik, yang akibat tekanan internasional kemudian dibebaskan. Jika ini terjadi, maka ambisi penguasa otoriter untuk mengokohkan rezim mereka lewat acara olah raga besar mengalami kegagalan.