1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Palu Arit: Penampakan yang Menghantui Indonesia

29 September 2015

Pengacara FPI Pongky Yoga Wiguna menyatakan: “Salah satu alasan mengapa hal ini melanggar hukum adalah karena kaum komunis tidak mengakui Tuhan.” Oleh Soe Tjen Marching.

https://p.dw.com/p/1GUdR
Russland Konversion von Militärobjekten
Foto: picture-alliance/dpa

Belakangan ini, ada penampakan yang cukup menggemparkan. Pada awal tahun, Putri Indonesia, Anindya Kusuma Putri, dilaporkan ke polisi oleh FPI Solo setelah ia mengunggah foto dirinya yang sedang mengenakan kaos bergambar simbol “palu arit”, saat ia mengunjungi Vietnam. FPI menuduh Anindya menyebarkan gagasan-gagasan komunis. Seorang pengacara FPI, Pongky Yoga Wiguna, menyatakan bahwa “Salah satu alasan mengapa hal ini melanggar hukum adalah karena kaum komunis tidak mengakui Tuhan.”

Bulan lalu, sepanjang perayaaan 70 tahun Kemerdekaan Indonesia di Pamekasan, Jawa Timur, simbol palu-arit juga muncul bersamaan dengan poster beberapa tokoh PKI seperti Aidit dan Untung. Meskipun semua gambar-gambar ini muncul di dalam pertunjukan teater yang bertujuan memperagakan kekejaman PKI terhadap militer pada tahun 1965, simbol “palu-arit” menurut beberapa media, masih memunculkan ketakutan masyarakat dan sekali lagi dianggap sebagai anti-agama.

Soe Tjen Marching
Foto: Soe Tjen Marching

Di Jember, dua mahasiswa ditahan pada pertengahan Agustus karena menggambar simbol yang menimbulkan perdebatan ini pada dinding kampus Universitas Jember. Dan belakangan ini, seorang lelaki ditahan oleh Polisi Ngawi, karena menjual kaos dengan gambar palu-arit. Tapi, apa sesungguhnya latar belakang simbol palu-arit, yang masih menghantui masyarakat Indonesia?

Dunia Simbol

Tidak bisa disangkal bahwa kita hidup di dalam sebuah dunia simbol. Sejak kanak-kanak, kita telah dikelilingi oleh simbol-simbol. Bahasa yang kita pakai tidak lain adalah kumpulan simbol-simbol.

Masyarakat memberi makna tertentu kepada simbol-simbol ini, sehingga simbol-simbol ini bisa dipelajari dan diajarkan. Ini sering dilakukan oleh pemerintah atau orang yang sedang berkuasa untuk membentuk pandangan orang tentang masyarakat, sebagai contoh dengan mengembangkan citra positif tentang kepemimpinan mereka. Saat sebuah negeri menghadapi konflik, perasaan nasionalisme bisa ditingkatkan dengan menggunakan simbol-simbol negara dan bendera. Agresi bisa ditampilkan sebagai sebuah tindakan patriotik –coba lihat bagaimana orang-orang Amerika sangat tekun melambaikan bendera mereka selama perang Irak.

Sebaliknya, simbol bisa juga digunakan untuk menegaskan stereotip tertentu atau memberi stigma pada kelompok. Inilah yang terjadi dengan simbol palu-arit di Indonesia.

Pada awal abad kedua puluh, simbol ini digunakan secara luas di Eropa, dengan berbagai variasinya, seperti palu dengan sekop atau palu-arit dengan alat bajak, untuk menyimbolkan para pekerja, petani dan kaum buruh secara keseluruhan. Pada tahun 1917, Lenin menyelenggarakan lomba untuk menciptakan lambang Soviet. Desain yang menang adalah lambang palu-arit dengan sebilah pedang. Lenin memutuskan untuk membuang gambar pedang itu karena ia ingin menimbulkan kesan bahwa bangsanya adalah bangsa yang damai.

Kemudian, seniman Moscow Yvgeny Kamzolkin merancang sebuah gambar palu-arit bersilang untuk poster hari buruh pada bulan Mei. Pada tahun 1918, versi ini diadopsi secara resmi oleh Soviet. Tetapi siapakah Kamzolkin ini? Ia bahkan bukanlah seorang komunis, pada kenyataannya ia adalah sorang religius. Simbol palu-arit, pada sejarahnya, tidak dimaksudkan untuk menunjukkan antipati terhadap agama.

Komunisme dan Agama

Di Indonesia kelahiran PKI juga tidak dipicu oleh menentang agama, melainkan tujuannya adalah berjuang melawan penjajahan Belanda, karena para pendukung komunis percaya bahwa penjajahan tidak bisa dipisahkan dari kapitalisme.

Banyak pendiri PKI adalah juga anggota organisasi nasionalis Sarekat Islam. Salah satu dari mereka adalah Haji M.Misbach (1876-1926), yang menyatakan bahwa komunisme dan Islam adalah sejalan. Tentu saja, PKI menggunakan palu-arit sebagai simbol partainya, tetapi penggunaan simbol ini dimaksudkan untuk menekankan dukungan bagi kelas buruh dan penolakan mereka terhadap kapitalisme.

Namun saat ini, simbol palu-arit digunakan untuk menekankan gagasan bahwa PKI adalah adalah kejahatan besar – meskipun partai ini telah dibasmi habis pada tahun 1965-67, saat hampir semua anggotanya dan bahkan mereka yang dianggap simpatisan dibantai dengan sadis. PKI sudah tidak lagi ada, anggota dan simpatisan mereka sudah dihabisi dengan sadis pada tahun 1965-67, tetapi ketakutan akan gerakan dan simbol ini terus berlangsung hingga kini.

Jadi, apakah sebenarnya yang telah dilakukan oleh pedagang kaos di Ngawi dan mahasiswa di Jember yang membenarkan penangkapan mereka? Apakah mereka telah menyerang seseorang atau merobohkan bangunan? Mereka tidak menyerang siapapun dan apapun. Mereka hanya menggunakan simbol para buruh dan petani, yang telah dimanipulasi sedemikian rupa oleh para penguasa Indonesia untuk menanamkan ketakutan dan stigma akan suatu kelompok.

Saat perempuan dipaksa memakai baju tertentu, saat buruh digaji secara tidak layak, saat minoritas keagamaan diusir dari rumah-rumah mereka dan saat para petani dipaksa bekerja di perkebunan-perkebunan yang telah terkontaminasi, reaksi para penguasa dan aparat bisa jauh berbeda. Bisa jadi banyak orang menggelengkan kepala mendengar semua ini, tetapi biasanya mereka akan memalingkan wajah dan terus menjalani kehidupan mereka. Namun, ketika seseorang menggambar alat kerja buruh dan petani (palu-arit), polisi dengan cepat bertindak, media berbondong-bondong meliput dan seluruh masyarakat diseret memasuki histeria masal.

Memang, ketakutan akan hantu PKI di negeri ini jauh lebih besar daripada ketakutan akan masalah yang sudah jelas di depan mata. Kejahatan dan korupsi yang terjadi setiap hari tidak diindahkan, mereka yang telah melakukan pembunuhan massal di berbagai tempat, masih dibiarkan dan bebas berkeliaran – sementara banyak orang begitu sibuk mencari hantu.

(Versi bahasa Inggris artikel ini telah dimuat di The Jakarta Globe dengan judul “A Spectre is Haunting Indonesia, but Why?”).