1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

270611 Armut im Wandel der Zeit

28 Juli 2011

Setiap masyarakat mengenal kemiskinan. Museum Simeonstift dan museum Rheinische Landesmuseum menggelar pameran tentang „Kemiskinan dalam perspektif seni dan masyarakat“

https://p.dw.com/p/125mu
August Sander, "Tunakarya"Foto: Rheinisches Landesmuseum Trier

Di tepi jalan, seorang tunawisma mencari sisa makanan di keranjang sampah. Di Eropa, hal ini hampir menjadi pemandangan sehari-hari. Televisi pun hampir setiap hari menunjukan laporan tentang orang-orang dari Afrika yang terpaksa mengungsi, memberanikan diri menyebrangi lautan luas yang berbahaya, demi mencari kehidupan yang lebih aman dan baik.

Di Jerman perdebatan mengenai bantuan sosial, serta penipuan agar mendapatkan bantuan ini, tidak juga reda. Tema kemiskinan sekarang ini sangat aktual, seperti ribuan tahun lalu. Yang berubah hanyalah cara memandangnya. Inilah yang menggerakkan dua musium di Trier untuk mengangkatnya dalam sebuah pameran besar.

Armut - Perspektiven in Kunst und Gesellschaft
Pemain Suling, Romawi, Abad ke-3Foto: Rheinisches Landesmuseum Trier

Rheinische Landesmuseum menampilkan temuan arkeologis dari Yunani, Mesir dan Romawi dan pandangan di masa itu, bahwa kemiskinan itu menjijikkan dan kesalahan sendiri.

Frank Unruh menjelaskan kepada pengunjung, „Di etalase di samping kita ini, terlihat bagaimana tubuh kecil digambarkan sebagai hal yang lucu, menampilkan tarian yang lucu, bermain dengan kera yang ukurannya sama besar dengan tubuh-tubuh yang karena sakit atau menyandang cacad dianggap tidak memenuhi kriteria tubuh sehat yang ideal di jaman itu. dan karenanya tersisihkan dan terpaksa hidup dijalanan. Membuat patung-patung perunggu ini tidak murah. Jadi ini pasti pesanan orang-orang kaya yang gemar memiliki koleksi patung kecil ini. Sulit untuk menggambarkan masyarakat jaman itu secara sopan“

Penyandang cacad, dan juga seniman, musisi dan akrobat di jaman Yunani merupakan target cemoohan masyarakat. Dan sebagai benda seni dibentuk sebagai sosok yang aneh dan lucu. Etalase Rheinische Landesmuseum di Trier menampilkan banyak patung kecil, aktor yang menjadi budak, pemain musik dengan wajah tersiksa atau orangtua mabuk yang berhidung besar. Kelompok yang miskin ini disisihkan dari masyarakat. Dianggap remeh, kecuali bila mereka bisa dipelihara, sehingga menambah pamor si tuan, seperti yang terlihat juga dalam pesta-pesta anggur para penguasa Mesir.

Ausstellung Armut Perspektiven in Kunst und Gesellschaft FLASH-GALERIE
Philipp Hoyoll, "Menyerbu Toko Roti", 1846Foto: Rheinisches Landesmuseum Trier

„Yang menarik adalah pengerjaan kembali patung yang berasal dari masa 300 tahun sebelum Masehi ini. Mungkin patungnya berasal dari Alexandria di Mesir. Patung ini menunjukkan seorang perempuan tua yang berjongkok di lantai dan memegang botol anggur di tangannya. Matanya melihat ke langit, seakan ingat pada masa-masa yang lebih indah. Jadi ini adalah orang yang kehidupannya menjadi terpuruk dan terpaksa tinggal di jalanan“, begitu dijelaskan Frank Unruh

Sebuah patung berukuran manusia menimbulkan keresahan penonton, yang terhenyak memikirkan situasi itu. Namun tak semua benda pameran menyebabkan reaksi yang sama. Musium Simeonstift menyoroti hal yang lain. Karya-karya dalam pameran tidak disusun secara kronologis, melainkan dibangun sesuai 5 cara memandang kemiskinan. Yakni sebagai dokumentasi, sebagai seruan, kemudian Ideal, Stigma dan Reformasi. Setiap perspektf ditandai dengan warna dinding yang khusus.

Menurut pemandu pameran Sonja Mißfeld, warna itu memudahkan pengunjung untuk menyimaknya. Tuturnya, "Di sini kebanyakan adalah karya-karya dari tahun 1920-an, misalnya dari Max Beckmann, Käthe Kollwitz, Ernst Barlach. Semua seniman yang memiliki pandangan kritis mengenai situasi sosial di sekitar mereka dan menjadikan kemiskinan sebagai tema kita. Mereka mempertanyakan apa yang disebut jaman emas tahun 20an dan menunjukkan bahwa banyak orang sama sekali tidak merasakan masa kejayaan itu. "

Armut - Perspektiven in Kunst und Gesellschaft . Sonderausstellung vom 10. April - 31. Juli 2011. Museum Trier. ***Das Pressebild darf nur in Zusammenhang mit einer Berichterstattung über die Ausstellung verwendet werden*** Albrecht Wild: Sitzender, 2008 verschiedene Materialien ca. 70 x 70 x 55 cm
Foto: Albrecht Wild

Dari perspektif stigma, asing berarti resiko miskin dan karenanya harus disisihkan. Tambahnya,

„Melalui karikatur terlihat bagaimana sekelompok masyarakat tidak ingin berhubungan dengan kelompok lainnya dan berusaha membangun batasan-batasan. Ini salah satu contoh menarik, palang yang berasal dari abad ke 17. Palang yang dulu dipasang di perbatasan berbagai wilayah dan terang-terang mengancam kaum gipsy untuk tidak masuk ke wilayah ini.“

Di sini ditunjukkan jalan panjang dari pandangan melecehkan kaum miskin, hingga mencapai pengakuan atas harga diri dan hak kaum miskin atas kehidupan bersama dalam masyarakat. Di satu pihak, hingga kini pandangan agama yang menempatkan sikap welas asih sebagai kewajiban dan di pihak lain, pandangan kuno bahwa kemiskinan adalah kesalahan masing-masing orang dan bahwa mereka yang butuh bantuan patut dicurigai.

Armut - Perspektiven in Kunst und Gesellschaft
Käthe Kollwitz, "Lapar!",1924Foto: VG Bild-Kunst/Bonn 2011

Sonya Mißfeld menjelaskan, "Segala hal yang asing dari dulu memiliki konotasi berisiko dan kemiskinan. Dan ini juga menjadi tema pameran. Rasa asing merupakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat sejak dulu. Misalnya, ada keinginan untuk membantu mereka yang betul-betul membutuhkannya. Tapi siapa yang benar-benar membutuhkannya dan apa tindakan saya agar bantuan itu tidak disalahgunakan atau diselewengkan. Dari dulu, kita selalu lebih percaya kepada orang yang kita kenal. Bila seseorang itu asing, maka muncul kecurigaan: apakah ia betul-betul butuh bantuan. Kita pun bertanya-tanya apakah dibohongi, atau akan diperdaya. Inipun tema aktuel dan yang kita hadapi selama ratusan tahun, dan sampai kini belum teratasi.“

Pameran di Trier menunjukkan bahwa kemiskinan adalah tema yang hingga kinipun sangat kontroversial, dan memicu pertanyaan-pertanyaan mengenai batasan keadilan dan solidaritas.

Stegen Gudrun /Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk