1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Konflik

Papua Larut Dalam Perang Propaganda

21 November 2017

Minimnya akses informasi dari Papua memaksa media nasional menjadi corong pemerintah. Terkait situasi di Tembagapura, Menkopolhukam Wiranto bahkan mendeklarasikan perang pada sumber informasi non resmi.

https://p.dw.com/p/2nz4i
Symbolbild Pressefreiheit
Foto: picture-alliance/ZB/J. Büttner

Simpang siur opini menjadi kekhawatiran terbesar Indonesia terkait insiden teranyar di Papua. Sampai-sampai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, menggelar rapat khusus di kantornya buat menangkal arus informasi yang tidak berasal dari kantong pemerintah.

"Banyak opini-opini yang sekarang salah, tidak objektif, opini negatif yang bersifat justru membangun kebencian. Tentu akan kita lawan dengan operasi opini," ujarnya seperti dikutip Republika.

Sejak awal Jakarta bersikukuh apa yang terjadi di dua desa di Tembagapura itu adalah penyanderaan. Polisi bahkan meniupkan isu kelompok separatis Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) melakukan pelanggaran HAM berat karena memerkosa perempuan. Sejauh ini satu-satunya sumber informasi terkait kasus tersebut adalah mabes Polri di Trunojoyo.

Informasi sepihak dari Jakarta mendapat kritik dari parlemen Papua. Yanes Murib, salah seorang anggota DPD RI Papua, menuding TNI dan Polri sedang melakukan pembohongan publik terkait situasi di Tembagapura.

Baca juga: Sinyal bagi opsi referendum di Papua?

"Propaganda media yang di lakukan sangat berlebihan, seakan-akan masyarakat yang ada di Banti dan sekitarnya dalam keadaan genting atau darurat,” ujarnya kepada Tabloid Jubi.  "Perlu diketahui oleh masyarakat luas bahwa kondisi di lapangan tidak seperti yang diberitakan oleh media nasional dan media lokal, ini semua propaganda."

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) membantah keras adanya pemerkosaan oleh anggotanya. Kelompok separatis itu juga mengritik media Indonesia yang lebih banyak memublikasikan informasi sepihak dari pemerintah. Lebih lanjut TPNPB meminta media-media nasional "mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat," begitu bunyi tuntutan yang diirilis di laman TPNPBNews.

Kritik senada dilayangkan oleh jurnalis dan pendiri rumah produksi Watchdoc, Dandhy Dwi Laksono. Menurutnya media nasional selalu memilih cara termudah ketika memberitakan masalah Papua. "Sejak kapan dalam jurnalisme sumber resmi dianggap sama dengan kebenaran? Lalu apa bedanya dengan Puspen atau Divisi Humas?," tulisnya di Mojok.Co.

rzn/yf (ap, kompas, tpnpbnews, mojok, republika)