1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

010911 Libyen Treffen Paris

1 September 2011

Presiden Perancis Nicolas Sarkozy mengundang perwakilan internasional ke konferensi pendukung Libya yang dihelat di ibukota Paris. Tema utama pembicaraan adalah bantuan bagi pembangunan kembali infrastruktur negara itu.

https://p.dw.com/p/12RQF
Presiden Perancis Nicolas SarkozyFoto: picture alliance/dpa

Presiden Perancis Nicolas Sarkozy mengundang perwakilan Libya dan lebih dari 60 negara guna mengikuti konferensi pendukung Libya, terkait rencana pembangunan kembali infrastruktur di negara itu. Tanggal 1 September sengaja dipilih sebagai hari H-nya. Dalam 40 tahun terakhir, tanggal itu dirayakan di Libya sebagai hari keberhasilan Gaddafi merebut kekuasaan dari monarki. Kini tanggal itu harus dikaitkan sebagai hari penentu masa depan demokrasi Libya.

Para pemimpin negara dalam konferensi pendukung Libya ingin membicarakan pembangunan kembali kota-kota yang hancur dan menegaskan bagaimana aset rezim lama Libya yang dibekukan bisa dicairkan kembali dengan cepat.

Keberhasilan kelompok perlawanan dan NATO mengalahkan Gaddafi harus dirayakan, demikian ujar Sarkozy dalam pertemuan dengan para duta besar, Selasa (30/08), "Kami akan mengakhiri bab kediktatoran dan peperangan, serta memulai iklim kerja sama dengan Libya yang demokratis. Ini merupakan tekad Perancis, mendukung upaya rakyat menuju demokrasi."

Pertemuan itu digelar di Paris, karena berkaitan dengan peran Perancis dalam perjuangan melawan Gaddafi. Sebelumnya Perancis dan Inggris menyumbangkan sebagian besar pasukannya dalam misi NATO di Libya. Kedua negara itu juga lebih dulu mengakui kelompok perlawanan sebagai wakil sah Libya.

Misi NATO di Libya, ditekankan Sarkozy, merupakan peristiwa bersejarah, juga bagi Eropa, "Eropa untuk pertama kalinya bisa membuktikan kesiapannya terlibat dalam konflik dalam bentuk yang menentukan, karena kedekatannya secara geografis. Laut Tengah merupakan kepentingan utama bagi Eropa, baru kemudian bagi Amerika Serikat."

Masih belum diputuskan apakah Eropa akan mendukung Libya di masa depan. Bantuan konkret mengenainya pun tidak akan diputuskan dalam konferensi di Paris. Setidaknya belum dalam bentuk bantuan keuangan.

Juru bicara pemerintah Jerman juga menegaskan bahwa pertemuan di Paris bukanlah konferensi negara donor. Konferensi pendukung Libya di Paris juga tidak akan membicarakan kemungkinan penempatan pasukan perdamaian intenasional di Libya. Pertemuan itu hanya menyiratkan dukungan secara simbolis.

Hari Kamis (01/09), Menteri Luar Negeri Perancis Alain Juppe menyatakan kepada stasiun radio RTL di Paris bahwa Perancis mencairkan dana rezim lama Libya senilai 1,5 miliar Euro. Sesaat sebelum konferensi pendukung Libya dibuka, pemerintah Perancis mengatakan bahwa mereka sudah mendapatkan persetujuan dari komite sanksi PBB.

Lebih lanjut Juppe menegaskan bahwa ini saatnya bagi Perancis untuk membantu pemerintahan peralihan, setelah melihat situasi sebagian besar wilayah di Libya sudah stabil. Jumlah keseluruhan aset rezim lama Libya di bank Perancis yang dibekukan bernilai 7,6 miliar Euro.

Sementara itu dilaporkan bahwa kelompok perlawanan di Libya memakai senjata buatan perusahaan Jerman Heckler&Koch. Itu terlihat dari cap perusahaan pada senapan tersebut. Berdasarkan laporan sejumlah saksi mata, pemberontak mendapatkan senjata tersebut pada saat penyerbuan kompleks militer Gaddafi.

Politisi Partai Kiri Jan van Aken meminta penjelasan dari pemerintah Jerman, "Ada tiga kemungkinan, Heckler&Koch menjual tanpa izin, atau menjual kepada pihak ke-tiga, yang kemudian mengirimnya ke Libya, atau pemerintah Jerman berbohong. Itu harus diselidiki kejaksaan, Heckle&Koch harus menjelaskannya. Saya juga ingin pemerintah Jerman menjelaskan, apa, kapan, siapa yang memberikan izin mengenainya."

Daniela Junghans/Luky Setyarini

Editor: Edith Koesoemawiria