1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Parlemen Jerman Setuju Tinggalkan Energi Nuklir

1 Juli 2011

Sampai tahun 2022 semua PLTN di Jerman akan berhenti beroperasi. Parlemen Jerman memutuskan kebijakan ini dengan dengan dukungan oposisi. Keputusan ini sesuai dengan keinginan mayoritas warga Jerman.

https://p.dw.com/p/11nZ8
Aksi menentang energi nuklir di JermanFoto: dapd

Harian Kölner Stadt Anzeiger yang terbit di kota Köln menulis:

Dengan keputusan meninggalkan energi nuklir, parlemen Jerman memenuhi keinginan mayoritas warga Jerman. Itu berarti, rakyat Jerman juga mengemban tanggung jawab besar. Jika dalam tahun-tahun mendatang, jaringan kabel listrik dibangun di berbagai tempat, lahan-lahan hijau harus dikorbankan untuk jalur listrik, dan banyak blok baru pembangkit listrik yang harus dibangun, rakyat harus mau menerimanya. Siapa yang menyatakan setuju dengan energi tenaga angin, harus mau menerima pembangunan menara dengan baling-baling raksasa dekat tempat tinggalnya. Warga juga harus siap membayar tarif listrik yang lebih tinggi.

Harian Rhein-Neckar-Zeitung dari kota Heidelberg berkomentar:

Semua berbicara tentang partisipasi warga. Parlemen Jerman Bundestag mewujudkan hal itu. Keputusan untuk keluar dari energi nuklir sampai tahun 2022 diambil dengan mayoritas besar. Ini sesuai dengan tuntutan sebagian besar warga Jerman. Pihak oposisi SPD dan Partai Hijau mengejek keputusan pemerintahan kanselir Merkel sebagai sikap oportunisme. Karena merekalah yang sejak dulu menuntut agar Jerman meninggalkan energi nuklir. Sedangkan sebagian kubu konservatif merasa dilangkahi. Faktanya adalah, sejak kecelakaan besar di Fukushima Jepang, makin sedikit warga Jerman yang setuju dengan energi nuklir.

Harian Westfällische Rundschau yang terbit di kota Dortmund menilai, Jerman sekarang memainkan posisi garda depan:

Dunia memandang ke Berlin. Jerman mengambil keputusan untuk menghentikan operasi PLTN yang menyimpan bahaya. Negara industri yang kaya ini secara sensasional banting setir dan ingin mengandalkan energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Di luar negeri, langkah ini cukup mengagetkan, sekaligus mendorong orang mempertimbangkan langkah serupa. Jika Jerman bisa berfungsi tanpa teknologi berbahaya ini, makin sulit bagi negara lain membenarkan penerapan teknologi penuh resiko yang menyebabkan limbah sangat beracun. Keputusan parlemen Jerman Bundestag memang berhak disebut sebagai keputusan bersejarah.

Harian Swiss Neue Zürcher Zeitung dalam tajuknya menulis, gagasan dasar keluar dari energi nuklirnya sebenarnya adalah gagasan oposisi. Selanjutnya harian ini menulis:

Untuk menyalurkan listrik dari sumber-sumber energi terbarukan di kawasan utara ke pusat-pusat industri di kawasan selatan, perlu dibangun banyak jaringan listrik baru. Tapi banyak warga setempat yang menolak pembangunan jaringan kabel listrik. Partai Hijau harus bekerja keras meyakinkan para penentang. Sementara pemerintah Jerman berusaha menerangkan, mengapa mereka sekarang setuju penghentian PLTN. Padahal tahun yang lalu, pemerintah memutuskan perpanjangan masa operasi PLTN dan menyebutnya sebagai langkah bersejarah. Kenyataannya adalah, kubu konservatif memang mengambil gagasan pihak oposisi, dan Merkel yang kekurangan ide langsung mengubah haluan politiknya.

Mulai 1 Juli ini, Polandia mengambil alih kepemimpinan Uni Eropa. Padahal belakangan, Polandia sering menolak kebijakan Uni Eropa. Harian Denmark Politiken berkomentar:

Dalam beberapa bidang, Polandia melancarkan politik yang berlawanan dengan keinginan Uni Eropa. Negara ini misalnya menentang sasaran kebijakan iklim Eropa. Polandia juga ingin mempertahankan berbagai aturan subsidi Uni Eropa. Kami harapkan, dengan mengambil alih tanggung jawab sebagai pimpinan Uni Eropa, mata Polandia bisa terbuka dan melihat, bahwa masa depan Eropa tidak terletak pada masa lalu. Pandangan harus diarahkan ke depan, pada pembaruan politik yang luas. Namun sebagai langkah pertama, kami senang menyambut Polandia yang modern dan demokratis mengambil alih kepresidenan Uni Eropa. Ini adalah sebuah keberhasilan Eropa.

Hendra Pasuhuk/afp/dpa
Editor: Setiawan