1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PBB: Kamp Pengungsi Rohingya Kritis

31 Oktober 2012

Makanan, air dan obat-obatan kian menipis di berbagai kamp pengungsian di bagian barat Myanmar, di tengah upaya pemerintah setempat untuk membendung konflik sektarian antara Buddhis-Rakhine dengan Muslim-Rohingya.

https://p.dw.com/p/16Ziq
Foto: Reuters

Konflik berdarah antara Buddhis dengan Muslim di negara bagian Rakhine telah memaksa lebih dari 28 ribu orang meninggalkan rumah mereka bulan ini, demikian pernyataan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB.

“Ini jelas mendesak bahwa hukum dan ketertiban harus dikembalikan untuk mencegah kekerasan lebih lanjut, dan akses harus difasilitasi supaya bantuan bisa diberikan kepada mereka yang membutuhkan,” demikian kutipan badan dunia tersebut.

Kamp Penuh Sesak

Konflik terakhir, yang meletus pada 21 Oktober lalu menewaskan puluhan orang dan membuat seluruh kawasan itu hancur oleh pembakaran yang disebut staff PBB sebagai hasil ”meluasnya perusakan dan pengungsian”.

Ribuan orang sebagian besar anggota komunitas muslim di Rakhine telah mengalir menuju berbagai kamp yang sudah terisi 75 ribu pengungsi akibat konflik awal yang pecah pada Juni lalu.

“Dengan masuknya pengungsi baru, membuat kamp-kamp ini penuh sesak dan melebihi kapasitas baik ruang, tempat tinggal dan persediaan kebutuhan dasar seperti makanan dan air,” kata badan PBB yang menangani masalah pengungsi UNHCR.

“Harga makanan di wilayah itu naik dua kali lipat dan tidak ada cukup dokter yang bisa merawat mereka yang sakit atau terluka.”

Berjuang Mengakhiri Kekerasan

Hari Selasa (30/10), polisi menembak dan membunuh satu orang dari kelompok Buddhis-Rakhine ketika mencoba menghentikan kerusuhan. Demikian keterangan seorang pejabat yang tidak bersedia disebutkan namanya. Korban tewas akibat kerusuhan terakhir, sampai laporan ini dibuat berjumlah 89 orang.

“Ribuan orang ada di sana. Kami masih belum tahu apakah ketegangan telah mereda sekarang karena komunikasi dan transportasi sangat sulit,” kata dia menyebut soal kerusuhan di Kyaukpyu, salah satu kota yang dilanda kerusuhan sektarian.

Ribuan Pengungsi Baru

UNHCR mengatakan lebih dari 3 ribu orang menggunakan kapal menuju ibukota Sittwe dengan harapan menemukan tempat berteduh di berbagai kamp pengungsian di pantai dekat kota itu.

Banyak yang kini hidup di tepi pantai yang tandus, kata seorang reporter AFP yang mengunjungi tempat lokasi kejadian.

“Kami tak punya rumah, tak punya tempat untuk tinggal, tidak punya uang – begitulah situasinya. Pagi-pagi anak-anak kelaparan dan menangis,” kata Ahpu, yang kini hidup terpisah dari suami dan anak laki-lakinya, saat mencoba menyelamatkan diri

Organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch, akhir pekan lalu mempublikasikan foto satelit yang menunjukkan apa yang dikatakan sebagai penghancuran Kyaukpyu – wilayah yang sebagian besar dihuni Muslim-Rohingya.

Kerusuhan Sapu Kelompok Etnik Kaman

Permusuhan yang sudah terpendam puluhan tahun antara kelompok Buddhis-Rakhine dengan Muslim-Rohingya, meledak pada Juni lalu.

Sekitar 800 ribu etnik Rohingya dipandang oleh PBB termasuk diantara kelompok minoritas paling paling teraniaya di bumi. Pemerintah dan sebagian besar masyarakat Myanmar melihat mereka sebagai imigran gelap dari negara tetangga Bangladesh.

Namun kelompok Muslim lainnya di Rakhine, juga ikut disapu dalam kerusuhan terakhir, termasuk Kaman, salah satu kelompok etnik yang selama ini diakui oleh pemerintah Myanmar.

UNHCR mengungkapkan kekhawatiran karena para pengungsi itu ada di wilayah yang sangat “sangat ekstrim untuk dijangkau“, sambil menyebut bahwa tidak diketahui berapa jumlah yang meninggalkan rumah menuju ke perbukitan.

Badan dunia itu mengatakan 6 ribu orang lainnya terdampar di perahu atau pulau di sepanjang pantai barat Myanmar dan masih mencati akses yang aman ke tempat di mana mereka bisa menerima bantuan”.

Kerusuhan Berlanjut

Juru bicara pemerintah negara bagian Rakhine Win Myaing mengindikasikan bahwa kerusuhan itu bisa terus berlanjut.

“Beberapa orang menanyakan kepada saya sampai berapa lama pertempuran akan berlanjut. Kami tidak tahu. Itu bisa berlanjut sampau satu atau dua bulan. Bisa juga bahkan sampai satu atau dua tahun,” kata dia.

Sejauh ini, Myanmar telah menolak tawaran ASEAN untuk membuka pembicaraan yang bertujuan memadamkan konflik.

AB/DK (afp, dpa)