1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pelajaran Agama di Sekolah Jerman

5 Mei 2009

Menyampaikan pengetahuan tentang semua agama yang ada di muka bumi, adalah tujuan pelajaran ini. Masalahnya, materi pelajaran sangat sedikit.

https://p.dw.com/p/Hk1b
Demonstrasi menuntut diberikannya pelajaran agama di sekolah, Berlin, 23.04.09Foto: picture-alliance/ dpa

Awal pekan ini, warga kota Berlin menghadapi pertanyaan klasik yang dilontarkan Gretchen, salah satu tokoh dalam drama Faust karya sastrawan besar Jerman Goethe. "Bagaimana kamu menyikapi agama?". Di Berlin digelar referendum untuk menentukan, apakah kelak pelajaran agama Kristen diberikan sebagai mata pelajaran wajib atau tetap pilihan. Yang terakhir ini rupanya menjadi pilihan warga Berlin, walaupun hasilnya beda tipis dengan mereka yang menghendaki pelajaran agama diwajibkan. Dengan demikian, sekolah-sekolah di Berlin tetap memberikan etika sebagai pelajaran wajib, yang terlepas dari agama manapun.

Di Hamburg, percekcokan mengenai pelajaran agamai sejauh ini tidak terjadi. Barangkali karena Hamburg memilih jalan khusus lewat 'pelajaran agama untuk semua'. Secara hukum yang bertanggungjawab adalah gereja Protestan. Tetapi untuk isi dan pengembangan materi pelajaran disusun bersama wakil semua agama. Imam, Rabbi, juga Biksu Budha.

Di SMA Kirchwerder Wilhelsburg, Hamburg, ruang tempat pelajaran berlangsung, lebih mengingatkan pada tempat pertemuan daripada ruang kelas. Ke-16 murid duduk di kursi yang disusun melingkar. Jendela dihiasi gambar abstrak berwarna-warni. Gambar-gambar itu menyimbolkan kesamaan asal-mula semua agama dan karena itulah Hammad, Muslim keturunan India-Pakistan, merasa nyaman berada di dalam ruangan itu. Begitu pula Ozlem, siswi 18 tahun yang orangtuanya berasal dari Turki.

Meski demikian, pelajaran tidak selalu berlangsung adem-ayem. Seperti tampak pada menit-menit pertama pelajaran. Persis di tengah kelas terhampar sebuah sejadah. Rana, seorang murid perempuan, melontarkan protes.

"Saya sih nggak tahu pasti, tapi orang bilang kalau sejadah dibiarkan terhampar begitu nanti setan berdiri di atasnya,” demikian protes Rana. Sang guru menanggapi keluhannya dengan meleparkan pertanyaan kepada murid lain. “Setan itu berdiri di atas sejadah? Veysel, kamu Muslim juga kan, apa yang kamu tahu tentang hal ini?“

“Setahu saya itu cuma kata orang. Lagipula setan kan tidak sembahyang,“ Veysel menjawab.

Mayoritas murid menganggap perbedaan pendapat semacam ini menghidupkan suasana, bahkan membebaskan. Seberapa besar perbedaan dalam masalah pendapat dan iman dialami para murid di dalam dan luar sekolah, dalam hidup keseharian di Hamburg-Wilhelmsburg yang multi etnis. Apa yang mereka alami dan amati bisa dibahas dalam 'pelajaran agama untuk semua'. Misalnya Mareike, umat Gereja Kerasulan Baru. "Kalau hanya ada satu pelajaran agama, maka tidak ada perbedaan pendapat yang bisa mewakili tiap-tiap kelompok. Tidak bisa berdiskusi, bertukar pendapat, semuanya sama satu suara. Karena itu saya pikir pelajaran agama yang kami lakukan disini betul-betul bagus," ungkap Mareike.

Susunan materi pelajaran, merupakan tantangan manusiawi maupun agama. Bagi Mareike yang anggota Gereja Kerasulan Baru, kedatangan kembali Yesus Kristus ke bumi sudah dekat waktunya. Bagi umat Muslim, itu merupakan hal yang absurd. Jadi, bagaimana orang bisa merumuskan titik pandang agama yang ia yakini dan mewakilinya, jika itu disanggah oleh orang lain? Bagi Melanie, yang sama sekali tidak percaya Tuhan, masalahnya jelas. "Saya memilih untuk ikut pelajaran ini karena saya tertarik pada tema agama. Dan bagi saya menarik untuk memperhatikan bagaimana orang yang beragama menjalankan hidupnya berbeda dengan saya. Saya pikir adalah hal menarik untuk melihat cakrawala pemikiran lain dan memperluas titik pandang saya agar menjadi lebih toleran.“

Sementara bagi guru agama Andreas Gloy, pelajaran pengenalan agama adalah tantangan yang menyenangkan. Menyampaikan pengetahuan tentang semua agama yang ada di muka bumi, adalah tujuan pelajaran ini. Masalahnya, materi pelajaran sangat sedikit. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan aktual seringkali muncul dalam diskusi, yang sebagian berlangsung secara spontan.

"Bisa tentang euthanasia, aborsi atau pertanyaan apakah kematian Yesus sia-sia? Bagaimana kita menyikapi masalah kekerasan dalam politik? Di dalam agama, yang juga merupakan ilmu sosial, ada banyak kemungkinan untuk menelusuri akar persoalan aktual. Dan kita bisa bilang, wah kita harus mencari informasi lebih banyak soal ini. Untuk itu kami pergi ke mesjid, atau mengunjungi pastur, bertanya dan juga mempelajari ilmu yang berkaitan dengan tema yang kami bahas," demikiam Andreas Gloy.

Belum pernah ada siswa yang membatalkan keikutsertaan dalam pelajaran pengenalan agama, yang sudah berlangsung bertahun-tahun di SMA Kirchwerder Wilhelmsburg. Ini membuktikan bahwa agama tak harus otomatis menjadi pangkal pertengkaran, jika murid, orangtua dan guru sama-sama mengendalikan diri.

Ute Hempelmann/Renata Permadi

Editor: Yuniman Farid