1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pembajakan Biologi Rugikan Warga Lokal

Rachel Baig13 April 2013

Pembajakan kearifan lokal terkait tanaman berkhasiat oleh industri farmasi, terbukti merugikan warga setempat. Kini sebuah kesepakatan internasional berusaha agar keuntungan dari patennya dibagi kepada warga lokal.

https://p.dw.com/p/18EvG
Heilpflanzen aus dem RegenwaldFoto: picture alliance/WILDLIFE

Warga di Afrika dan Asia selama ratusan tahun telah memanfaatkan Catharanthus Roseus atau Tapak Dara sebagai tanaman berkhasiat untuk obat tradisional. Sejak lama juga diketahui, tanaman Tapak Dara berkhasiat menurunkan drastis sel darah putih, dan digunakan mengobati leukemia.

Rosafarbene Catharanthe, Berenty Reservat, Madagaskar / (Catharanthus roseus) / Madagaskar-Immergruen, Madagaskar-Immergrün
Tapak dara tanaman berkhasiat untuk obat leukemia.Foto: picture alliance/Arco Images

Tapi sejak beberapa tahun terakhir, komponen bekhasiat dari tanaman Tapak Dara dipatenkan oleh industri farmasi dan diolah menjadi obat paten yang dijual dengan harga mahal di pasaran. Perusahaan farmasi yang memanfaatkan pengetahuan lokal, terkait khasiat tanaman Tapak Dara atau tanaman lainnya, biasanya juga meraup untung dalam jumlah besar.

Misalnya saja tahun 2000, perusahaan kimia raksasa dari Amerika Serikat, DuPont mendapat paten dari kantor paten Eropa terkait semua jenis jagung yang memiliki kandungan minyak dalam kadar tertentu. Padahal tanaman jagung itu telah eksis di alam sejak ribuan tahun.

Kondisi semacam inilah yang memicu sejumlah organisasi pelindung lingkungan menuding perusahaan farmasi raksasa melakukan praktik pembajakan kekayaan biologi. Selain Greenpeace pemerintah Meksiko juga mengkritik pemberian paten jagung itu.

Melindungi Kearifan Lokal

Ironisnya, ketika di satu sisi organisasi pelindung lingkungan dan bantuan internasional melancarkan tekanan, di sisi lainnya banyak negara yang sebetulnya dirugikan, bersikap apatis. Kondis ini memicu perusahaan kimia raksasa, makin berani menjarah kekayaan dan pengetahuan lokal yang memiliki nilai ilmiah maupun ekonomis.

Kini bukan hanya tanaman bekhasiat yang dipatenkan komponennya, tapi juga beragam varietas baru buah-buahan dan sayuran hasil persilangan atau rekayasa genetika. Yang paling banyak dikritik adalah perusahaan kimia AS Monsanto.

Sven Hilbig, Referent für Welthandel und Umweltpolitik für Copyright: Sven Hilbig via Rachel Baig DW +++Laut Herr Hilbig, hat er die Rechte an dem Bild, da er dieses regelmäßig für Publikationen nutzt. Und er hat, wie in der Mail erwähnt, diese an die DW zum Zwecke der Berichterstattung erteilt. +++
Sven Hilbig dari Brot für die Welt.Foto: Sven Hilbig

"Disamping itu, kesepakatan internasional yang mengikat mengenai perlindungan keragaman hayati, seperti Nagoya Protocol yang disepakati Oktober 2010, hingga kini belum sepenuhnya diterapkan", ujar Sven Hilbig dari organiasi bantuan "Brot für die Welt.". Dalam konvensi itu diatur pembagian keuntungan dari sumber daya alam bagi populasi warga yang secara tradisi sejak ratusan tahun lalu menanam dan menggunakannya sebagai obat.

Perang Legalitas

Perang melawan pembajakan kekayaan hayati memang telah mencatatkan beberapa sukses kecil. Misalnya pada Maret 1995, dua peneliti asal India di University of Mississippi AS mendapat paten bagi tanaman kunyit, yang biasanya digunakan sebagai bumbu dapur di Asia, sebagai penyembuh luka.

Dewan ilmu pengetahuan dan riset industri di India langsung bereaksi dengan mengajukan gugatan ke kantor paten AS. Mereka melampirkan naskah berusia ribuan tahun dalam bahasa Sansekerta terkait penggunaan kunyit sebagai obat luka.

Kantor paten AS kemudian membatalkan kembali paten itu serta paten lainnya menyangkut kunyit sebagai bahan obat. Itu sebuah sukses kecil dalam perang legalitas kekayaan hayati.

Namun dalam kebanyakan kasus, perang di ranah hukum tidak semudah itu. Di Uni Eropa misalnya, tidak ada aturan yang seragam terkait kekayaan biologi bagi 27 negara anggotanya. Akibatnya Nagoya Protocol sejauh ini juga sulit diratifikasi di Uni Eropa.

Sejauh ini, baru 15 negara anggota PBB yang sudah memasukkan Nagoya Protocol ke dalam sistem hukum nasionalnya. Untuk mendapat status hukum mengikat, minimal harus 50 anggota PBB meratifikasinya.