1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemberontak Kuasai Sejumlah Kawasan di Tripoli

22 Agustus 2011

Ribuan pemberontak memasuki Tripoli dan menguasai sebagian ibukota Libya. Muammar Gaddafi serukan pendukungnya berjuang hingga titik darah terakhir.

https://p.dw.com/p/12L0X
Smoke rises as heavy gunfire is heard all around in Tripoli, Libya, Sunday, Aug. 21, 2011. Libyan rebels captured a major military base that defends Moammar Gadhafi's stronghold of Tripoli as clashes and protests raged in the streets of the capital on Sunday. The tide of the 6-month-old civil war appeared to be turning quickly against the leader of more than four decades.(Foto:Dario Lopez-Mills/AP/dapd)
Asap membubung di sekeliling TripoliFoto: dapd

Sekitar setengah tahun setelah dimulainya perlawanan terhadap penguasa Libya Muammar Gaddafi, pertempuran memperebutkan ibukota Tripoli telah dimulai. Ribuan pemberontak mengepung kota, tempat markas besar diktator Gaddafi. Menurut keterangan sendiri, pinggiran kota bagian timur telah dikuasai pemberontak. Saat bergerak memasuki Tripolis, pemberontak mendapat dukungan dari NATO yang menggempur berbagai posisi pasukan pemerintah. Sementara itu, pemimpin pemberontak mengklaim telah menangkap tiga putra Gaddafi, Seif al-Islam, Al-Saadi dan Mohammed al-Gaddafi. Pemerintah Libya dilaporkan telah menawarkan perundingan segera.

Sebelumnya, hari Minggu sore (21/8) jurubicara pemerintahan Libya melakukan pertemuan dengan segelintir wartawan yang masih berada di Tripoli. Moussa Ibrahim menuding pemberontak melakukan eksekusi semena-mena, penjarahan dan perkosaan di kota-kota yang pada hari-hari terakhir mereka kuasai. Ia menuduh NATO bertanggung jawab atas semua ini karena telah membantu pemberontak untuk dapat menerobos ke kota-kota itu, sehingga mereka dapat melakukan kejahatan tersebut. Ibrahim terutama menuding pemimpin pemerintahan AS, Inggris dan Perancis: „Setiap tetesan darah rakyat Libya yang ditumpahkan pemberontak, merupakan tanggung jawab pemerintah barat, terutama negara anggota NATO. Karena itu, tuan Obama, Cameron dan Sarkozy lah yang bertanggung jawab secara moral terhadap setiap orang yang tewas di negeri ini."

Pemberontak yakin akan rebut Tripoli

Moussa Ibrahim, Libya's government spokesman gives a statement to the press in Tripoli, Libya, Sunday, Aug. 21, 2011. Ibrahium appealed for an immediate cesasefire and a peaceful negotiation as Libyan rebels said they were less than 20 miles (30 kilometers) from Moammar Gadhafi's main stronghold of Tripoli on Sunday, a day after opposition fighters launched their first attack on the capital itself.(Foto:Dario Lopez-Mills/AP/dapd)
Moussa IbrahimFoto: dapd

Ibrahim sama sekali tidak menyinggung kemungkinan pengungsian Gaddafi. Ia hanya menegaskan bahwa agenda politik tidak tergantung pada isu apakah seseorang mengungsi atau tidak. Pernyataan Ibrahim pada jumpa pers itu tampaknya ditandai dengan pandangan pribadinya: „Hampir 15 tahun saya habiskan untuk mengenyam pendidikan di Inggris. Saya tadinya mengira mengenal inti peradaban barat. Tetapi dalam konflik ini saya mengenali sisi barat yang lain, sisi yang hanya bisa saya temukan di buku-buku sejarah. Barat dengan lumuran darah, penghancuran, pembunuhan dan pendudukan. Barat yang tidak punya hati dan perasaan."

Banyak jurnalis mendapat kesan, seakan itu merupakan kata-kata perpisahan Ibrahim. Sementara itu, Mustafa Abdel Jalil, jurubicara Dewan Transisi Pemberontak dalam wawancaranya dengan stasiun televisi Al Arabiya mengumumkan bahwa para pemberontak terus maju untuk merebut ibukota Tripoli, oleh sebab itu ia menyarankan pendukung Gaddafi untuk tidak lagi berjuang untuk penguasa Libya itu dan agar menyerahkan senjatanya, tidak keluar rumah atau mendukung pemberontak. Ia mengatakan, saat yang menentukan kini tiba.

Khawatir Gaddafi akan ubah Tripoli menjadi tempat pembantaian

People celebrate the recent news of uprising in Tripoli against Moammar Gadhafi's regime at the rebel-held town of Benghazi, Libya, early Sunday, Aug. 21, 2011. Libyan rebels said they launched their first attack on Tripoli in coordination with NATO late Saturday, and Associated Press reporters heard unusually heavy gunfire and explosions in the capital. The fighting erupted just hours after opposition fighters captured the key city of Zawiya nearby. (Foto:Alexandre Meneghini/AP/dapd)
Pendukung pemberontak di BenghaziFoto: dapd

Meskipun yakin akan menang, Abdel Jalil khawatir bahwa Gaddafi akan menjadikan Tripolis sebagai tempat pembantaian, bila pertempuran yang menentukan tiba: „Tentu kami kenal moral dan sikap Gaddafi. Libya dan rakyatnya tidak penting baginya. Pada saat-saat terakhir ia siap melakukan segalanya. Ia dapat saja membakar Tripoli, membuat mobil menjadi jebakan bom atau membuka gudang senjata gasnya. Kami memperhitungkan semua kemungkinan dan siap menghadapinya."

Sementara itu pertempuran di Tripoli berlanjut. Koresponden kantor berita AP di Tripoli melaporkan, Minggu malam (21/9) pasukan pemberontak memasuki kawasan barat pinggiran kota Tripoli tanpa mendapat perlawanan. Sebelumnya pemberontak berhasil merebut salah satu markas pasukan elit brigade Chamis dari putra Muammar Gaddafi, Chamis.

Hans Michael Ehl/Christa Saloh-Foerster

Editor: Carissa Paramita