1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiPakistan

Mampukah Pemerintahan Baru Atasi Badai Krisis di Pakistan?

Haroon Janjua
16 Februari 2024

Pakistan yang sedang didera krisis ekonomi, ketidakstabilan politik, dan militansi kelompok radikal, akan diperintah oleh koalisi minoritas yang terlalu lemah untuk membuat keputusan sulit, kata pengamat.

https://p.dw.com/p/4cUKz
PM Shehbaz Sharif
PM Shehbaz SharifFoto: K.M. Chaudary/AP/picture alliance

Ketika Partai Tehreek-i Insaf Pakistan, PTI, pimpinan Imran Khan membentuk koalisi dengan partai-partai Islam, kedua partai besar lain menyatukan kekuatan, yakni Partai Rakyat Pakistan (PPP) dan Liga Muslim, PML-N, pimpinan bekas Perdana Menteri Nawaz Sharif.

Bersama-sama, kedua partai akan memiliki porsi mayoritas di parlemen yang beranggotakan 265 orang. PML-N sejauh ini telah menoiminasikan adik Nawaz, Shehbaz Sharif, sebagai calon perdana menteri.

Koalisi baru itu merupakan cerminan dari aliansi yang menjatuhkan Perdana Menteri Imran Khan pada 2022 dan mendikte pemerintahan transisi di Islamabad.

Tapi belum apa-apa, "koalisi pemerintahan yang baru sudah terlihat lemah dan tidak stabil, karena adanya percekcokan antara PML-N dan PPP," kata Madiha Afzal, peneliti politik Pakistan di Brookings Institition.

"Koalisi ini ikut bertanggung jawab atas situasi keamanan yang memburuk dan krisis ekonomi yang akut selama 16 bulan terakhir. Hal ini tidak menambah kepercayaan terhadap kekuasaan mereka di masa  depan," tukasnya.

PPP sudah mengumumkan tidak akan meminta jabatan menteri dan akan mendukung PM Shehbaz Sharif "kasus demi kasus," yang meluapkan kekhawatiran perihal rapuhnya koalisi pemerintahan. Jika PPP tidak terwakili di kabinet, pemerintah artinya hanya punya dukungan minoritas di parlemen, justru ketika Islamabad menghadapi krisis ekonomi, isu keamanan dan ketidakstabilan politik.

Pakistan: Defeated parties ally against winning candidates

Inflasi perdalam kemiskinan di Pakistan

Pakistan telah berada dalam krisis ekonomi sejak pandemi Covid-19, yang diperparah dengan krisis energi dunia dan bencana banjir yang melanda tahun lalu. Tidak sedikit warga yang kehilangan daya beli akibat inflasi yang tinggi. Alhasil, warga miskin kini hampir tidak lagi bisa membeli kebutuhan pokok atau membayar tagihan listrik.

Sebagai jalan keluar, pemerintah menyepakati pinjaman senilai tiga miliar Dollar AS dari Dana Moneter Internasional tahun 2023 lalu. Namun selain wajib melakukan pengetatan dan transparansi anggaran, Pakistan dipastikan sudah harus menegosiasikan pinjaman baru. Namun utang hanya akan dikabulkan jika pemerintah terus memangkas pengeluarannya.

"Ini adalah waktu yang sangat sulit dalam sejarah ekonomi Pakistan. Pemerintah yang terpilih akan dipaksa membuat keputusan nonpopuler untuk bisa memenuhi syarat pinjaman IMF," kata Farhan Bokhari, analis ekonomi Pakistan kepada DW.

"Dan penghematan anggaran berpotensi mencuatkan ketidakpuasan penduduk dalam jangka menengah. Tidak akan ada masa-masa bulan madu bagi pemerintahan yang akan datang."

Namun Ahsan Iqbal, Ketua Umum PML-N yang juga bekas perdana menteri, mengaku yakin pemerintahan Shehbaz Sharif akan mampu menstabilkan ekonomi. "Kiprah kami selama 16 bulan terakhir menjadi bukti bahwa kami telah menyelamatkan negara dari kebangkrutan dan menempatkan perekonomian di jalur yang lebih stabil," kata dia kepada DW.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Konsensus politik demi reformasi

Tidak semua bersikap optimis terhadap kemampuan pemerintahan baru Pakistan. "Koalisi ini tidak punya ruang politik buat mengimplementasikan reformasi," kata Michael Kugelman, direktur Asia Selatan di lembaga penelitian Wilson Center. "Pemerintah hanya akan menjalankan kebijakan sebatas memenuhi syarat IMF untuk pinjaman baru," imbuhnya.

"Fokus terbesar adalah mendatangkan lebih banyak investasi dari luar negeri dan menegosiasikan dana pinjaman segar. Militer pastinya ingin melihat kemajuan dalam reformasi dan keberhasilan mekanisme investasi baru seperti Dewan Sarana Investasi Khusus, SIFC. Tapi realita politik akan mempersulit hal tersebut," ujarnya.

Maliha Lodhi, bekas duta besar Pakistan untuk PBB, berbagi pandangan serupa.

"Ujian paling menentukan bagi pemerintah adalah ekonomi. Belum jelas, apakah perdana menteri akan mampu mengumpulkan cukup dukungan untuk mengambil keputusan nonpopuler, demi mengeluarkan ekonomi dari kondisi kritis," kata dia.

Masih jadi pertanyaan bagaimana partai PML-N akan mampu mengelola dukungan di parlemen, di mana pendukung Imran Khan membentuk blok yang besar," tukasnya, merujuk pada bekas perdana menteri yang dilarang mencalonkan diri itu.

rzn/hp