1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemilu Bersejarah atau Sandiwara Bersejarah?

9 April 2010

Meskipun pihak oposisi telah menyatakan akan memboikot, warga Sudan tetap menggantungkan harapannya pada hasil Pemilu. Sudah satu kemajuan besar, jika Pemilu ini berjalan tanpa timbulnya kekerasan.

https://p.dw.com/p/MsBF
Seorang pendukung Presiden Sudan Omar al-Bashir dengan bendera Sudan ditangannyaFoto: AP

Mulai hari Minggu (11/04), warga Sudan memiliki kesempatan selama tiga hari untuk datang ke tempat pemungutan suara untuk memilih anggota parlemen baru, presiden untuk seluruh Sudan, gubernur serta parlemen daerah. Sementara di Sudan Selatan juga akan dipilih seorang presiden dan parlemen sendiri.

Ini merupakan Pemilu bersejarah, dikatakan Ramadan Chan Lol dengan yakin. Sejak berbulan-bulan lamanya, tema Pemilu merupakan tema utama yang disoroti oleh Ramadan Chan Lol, sekretaris jendral Dewan Gereja Sudan. “Bagi mereka yang selama hidupnya belum pernah memberikan suara, Pemilu dapat menjadi gambaran bagaimana hal seperti ini dapat dilaksanakan. Ini dapat menunjukkan, bagaimana satu Pemilu yang demokratis berfungsi, bahkan pada saat defisit demokrasi.“

Memang selama hidupnya, sebagian besar pemilih belum pernah berdiri di depan kotak suara dengan kertas suara di tangannya. 24 tahun lamanya tidak pernah satu Pemilu dapat digelar di seluruh wilayah Sudah. Perang saudara yang berkecamuk antara kaum pemberontak dari Front Pembebasan Sudan Selatan dan tentara pemerintah di selatan Sudah membuat Pemilu di wilayah ini mustahil dapat diselenggarakan. Kini di wilayah selatan telah tercipta perdamaian.

Namun saat inipun tidak seluruh warga Sudan dapat memberikan suaranya dalam Pemilu, terutama di Darfur. Beberapa kelompok pemberontak masih menjalankan pertempuran melawan tentara Sudan dan milisi Janjaweed. Jutaan orang harus mengungsi.

Jacky Marmour dari sebuah LSM Perancis "Bersama untuk Darfur“ mengatakan, “Situasi saat ini tidak memungkinkan bagi warga Darfur untuk ikut berpartisipasi dalam Pemilu ini. Selain itu, mereka yang tinggal di kamp-kamp pengungsi juga menolak untuk mendaftarkann diri. Mereka menganggap, jika mereka melakukannya, berarti mereka menerima kamp pengungsi ini sebagai tempat tinggal mereka.”

Juga di Sudan Selatan tidak semua orang dapat pergi ke TPS, karena kekerasan telah meningkat di wilayah ini. Kelompok-kelompok etnis saling menyerang. Tahun lalu saja, kekerasan yang melanda wilayah ini telah menelan lebih banyak korban tewas daripada di Darfur.

Kekerasan bukan satu-satunya masalah yang akan merintangi Pemilu Sudan. Banyak pengamat menuduh pemerintah Sudah saat ini bahkan telah memanipulasi hasil Pemilu. Seluruh partai oposisi besar telah menytakan akan memboikot sebagian atau seluruh Pemilu.

Mou Thiik dari Yayasan Jerman Friedrich-Ebert Stiftung tahu benar alasannya. "Beberapa undang-undang belum dicabut. Undang-undang tentang ketertiban umum, yang dapat menghambat jalannya Pemilu yang adil. Undang-undang keamanan, undang-undang pers, semua peraturan ini belum diubah. Para partai oposisi khawatir, bahwa karenanya pemilihan tidak akan berjalan dengan bebas dan adil.“

Selain partai-partai oposisi, juga organisasi-organisasi internasional menuduh pemerintah di Khartum serta pemerintah semi otonom di Sudan Selatan telah memanipulasi Pemilu dengan undang-undang yang sekarang masih diberlakukan.

Walupun kesulitan serta masalah membayangi Pemilu kali ini, warga Sudan tetap menggantungkan harapan yang besar, bahwa pemilihan umum dapat berjalan dengan mulus. Karena Pemilu kali ini merupakan satu ujian. Tahun depan, pada bulan Januari 2011, warga Sudan Selatan akan menentukan pilihan, apakah mereka ingin melepaskan diri dari Sudan atau tidak. Satu Pemilu yang berjalan dengan damai akan menjadi ujian yang sukses bagi pelaksanaan referendum ini – dan juga akan menjadi sebuah harapan, bahwa perdamaian di Sudan dapat dipertahankan.

Daniel Pelz/Yuniman Farid

Editor: Ayu Purwaningsih