1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pendekatan Baru di Sudan

Daniel Pelz5 April 2013

Sudan dan Sudan Selatan sepakat untuk mengakhiri sengketa dan menarik pasukannya dari perbatasan. Dalam waktu dekat, minyak bisa mengalir lagi antara kedua negara.

https://p.dw.com/p/189pL
Sudanese soldiers wave the Sudanese flag during their celebration in Heglig, Sudan, 23 April 2012.
Konflikt SudanFoto: picture-alliance/dpa

Perjanjian perdamaian baru sudah dirundingkan bulan Maret lalu. Kedua pihak yang bertikai akan mulai menerapkan kesepakatan itu awal April. ”Konflik ini memang belum berakhir, tapi kini sudah ada pendekatan”, kata Magdi el-Gizouli dari Rift Valley Institute kepada Deutsche Welle.

Sudan Selatan menyatakan diri merdeka tahun 2011. Ketika itu sudah ada sengketa tentang pembagian pendapatan dari minyak dengan pemerintah Sudan. Tiga perempat sumber minyak di kawasan itu terletak di daerah Sudan Selatan. Tapi ekspor minyak hanya bisa dilakukan lewat pipa saluran yang melewati kawasan utara.

Garis perbatasan juga masih jadi sengketa. Selain itu, status kewargenegaraan penduduk di kawasan itu masih belum jelas. Masih ada daerah yang jadi sengketa, yaitu daerah Abiyei. Berbagai perundingan dilakukan, tapi belum membawa hasil.

Tahun 2012 merupakan titik terendah hubungan kedua negara. Setelah muncul sengketa tentang retribusi saluran minyak dari selatan ke utara, Sudan Selatan tiba-tiba menghentikan produksi dan pemasokan minyak.

Kedua negara perlu minyak

Maret 2013, kedua pihak menyepakati perjanjian yang baru. Kali ini, banyak hal yang berfungsi: Pasukan kedua negara yang ditempatkan di perbatasan mulai ditarik kembali. Perbatasan sepanjang 2000 kilometer sekarang dijaga polisi, yang dibantu 1100 polisi PBB.

Pemerintah Sudan Selatan meminta perusahaan minyak agar memulai lagi produksi. Presiden Sudan al Bashir langsung mengucapkan terima kasih. Ia mengatakan akan segera berkunjung ke Sudan Selatan. Ia terakhir kali berada di Sudan Selatan pada perayaan kemerdekaan tahun 2011.

Kedua negara memang membutuhkan minyak. Karena itu, mereka harus bekerja sama. Tanpa minyak, perekonomian Sudan mengalami kemunduran selama dua tahun terkahir. Menurut Dana Moneter Internasional IMF, tahun 2012 ekonomi Sudan turun 11 persen. Pada saat yang sama, inflasi melonjak. Harga-harga naik sampai 28 persen. Bulan Juni 2012, pemerintah Sudan terpaksa mencabut subsidi bahan bakar dan pangan. Harga bensin naik dua kali lipat. Di ibukota Sudan, Khartoum, terjadi aksi protes dan kerusuhan.

Sudan Selatan juga sangat membutuhkan pemasukan dari ekspor minyak. Lebih separuh penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Sistem pelayanan kesehatan sangat buruk. 90 persen pendapatan negara berasal dari penjualan minyak.

Pengamanan Perbatasan

Uang dari minyak juga dibutuhkan untuk membayar gaji para pegawai negeri. Selain tentara, banyak kelompok milisi yang beroperasi di Sudan Selatan dan berfungsi sebagai „tentara cadangan“. Pemerintah harus membayar mereka agar mereka tetap loyal kepada negara.

"Masalah keamanan di perbatasan adalah ancaman terbesar bagi perjanjian perdamaian“, kata pengamat Sudan, Magdi el-Gizouli. Banyak penyelundup, pencuri sapi dan kelompok pemberontak yang menggunakan rute perbatasan. Kelompok pencuri misalnya bisa melakukan aksinya melewati perbatasan. Tentara dari satu negara bisa mengejar pencuri dan masuk ke teritorial negara lain. Ini bisa memancing pertikaian.

”Konflik di daerah perbatasan sering berkembang menjadi konflik antar pemerintah”, kata Magdi  el-Gizouli. Ia berharap, kedua negara tetap mempertahankan perdamaian karena sama-sama perlu minyak. Minggu yang lalu, pemerintah Sudan Selatan mengumumkan, mereka ingin membangun pipa minyak ke Kenya dan Jibouti. Kalau saluran minyak ini selesai, Sudan Selatan tetap bisa menjual minyak, sekalipun ada konflik dengan kawasan utara.