1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengadilan Den Haag Vonis Pembantai Srebrenica

10 Juni 2010

Empat tahun setelah sidang dimulai, Mahkaman Kejahatan Perang Internasional memvonis hukuman seumur hidup terhadap dua mantan pejabat Serbia-Bosnia atas tuduhan pembantaian di Srebrenica.

https://p.dw.com/p/Nn8R
Vujadin Popovic (kiri) dan Ljubisa Beara (kanan) dalam sidang Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia di Den Haag, Belanda (10/06)Foto: picture alliance/dpa

Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia di Den Haag, Belanda, menjatuhkan vonis hukuman seumur hidup terhadap dua mantan pejabat militer Serbia-Bosnia, Vujadin Popovic dan Ljubisa Beara. Selain itu, seorang pejabat militer lainnya, Drago Nikolic, divonis kurungan 35 tahun atas perannya dalam pemantaian Srebrenica. Sementara itu, empat tertuduh lainnya, Milan Gvero, Vinco Pandurevic, Ljubomir Borovcanin dan Radivoje Miletic, dihukum masing-masing 5, 13, 17 dan 19 tahun penjara atas tuduhan kejahatan perang lainnya.

Sidang Pembantaian Srebrenica ini, merupakan pengadilan terbesar yang pernah digelar oleh Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia ini dengan menghadirkan 315 saksi. Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia secara keseluruhan mendakwa 21 orang sehubungan dengan pembantaian di Srebrenica ini. Radislav Krstic, jendral yang memimpin serangan, telah dihukum atas tuduhan membantu dan bersekongkol dalam genosida ini. Sementara itu, pengadilan terhadap Radovan Karadzic, mantan pemimpin Serbia-Bosnia, masih berlangsung.

Awal Juli 1995, setelah pengepungan berbulan-bulan, tentara Serbia akhirnya merangsek memasuki Srebrenica, yang kala itu dijaga oleh sekitar 450 pasukan pelindung PBB dari Belanda. Kaum pria di kota dan desa-desa sekitarnya digiring ke satu tempat lalu ditembak mati. Mayat mereka dilemparkan ke kuburan massal, lalu digali kembali dan dikubur di tempat lain untuk menutupi pembantaian massal itu.

Lebih dari 7000 warga Muslim tewas dalam pembantaian ini. Srebrenica adalah genosida terbesar di Eropa setelah Perang Dunia ke 2.

Yuniman Farid/dpa/afp

Editor: Hendra Pasuhuk