1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aturan Larangan Gay Singapura Ditolak untuk Dicabut

10 April 2013

Para aktivis hak asasi manusia bereaksi marah pada Rabu (10/04/13) setelah Pengadilan Tinggi Singapura menolak sebuah petisi untuk mencabut produk hukum lama yang mengkriminalkan hubungan seks sejenis.

https://p.dw.com/p/18D6u
Foto: AP

Dalam keputusannya, pengadilan mengatakan bahwa keputusan untuk mencabut produk hukum era kolonial itu ada di tangan parlemen. Aturan yang dikenal sebagai “Bab 377A”,  selama ini dipertanyakan ke pengadilan oleh pasangan gay.

“Kasus terakhir ini tidak diragukan lagi adalah sebuah isu yang menantang dan penting, tapi tak seorang pun dalam pandangan saya, bisa membenarkan intervensi hukum yang berat untuk mendahului sebuah perubahan demokratis,” kata Hakim Quentin Loh dalam keputusannya.

“Dalam pikiran saya, mendefinisikan masalah moral membutuhkan waktu untuk berkembang dan yang terbaik adalah meninggalkan hal itu agar diselesaikan oleh para legislator,” tambah dia.

Warisan Kolonial

Produk hukum warisan pemerintah kolonial Inggris yang pernah berkuasa di Singapura itu, memungkinkan hukuman maksimum penjara hingga dua tahun bagi para pelaku homoseksual. 

Aturan itu selama ini tidak ditegakkan secara aktif oleh pemerintah Singapura untuk menjerat pasangan yang melakukan hubungan homoseksual secara privat, dan itu menggerakkan para aktivis untuk mendorong reformasi di Negara makmur tersebut.

Dua orang yang merupakan pasangan homoseks meluncurkan petisi -- seorang desainer grafis bernama Gary Lim 44 tahun dan Kenneth Chee 37 tahun -- kini sedang mempertimbangkan apakah akan banding dan mengajukan kasus ini ke lembaga peradilan tertinggi.

Sebuah petisi kedua yang mempertanyakan secara konstitusional ketentuan itu, masih tertunda di pengadilan yang sama, namun para aktivis tidak optimis.

“Sekali lagi, Singapura yang modern kalah saat tiba pada urusan hak-hak mendasar. Tak ada tempat bagi aturan ini dalam negara yang berkembang secara modern seperti Singapura,” kata Wakil Direktur Human Rights Watch Asia Phil Robertson.

Ia menyebut hukum itu sebagai “sisa-sisa era kolonialisme Victoria”.

Sumber Diskriminasi

“Daripada tepekur pasif dalam soal peran pengadilan dalam mendefiniskan isu-isu moral, hakim seharusnya fokus pada isu utama tentang apakah Bab 377A bersifat diskriminatif atau tidak, ketimbang menendangnya balik ke parlemen,” tambah dia.

Jean Chong, salah satu pendiri kelompok aktivis lesbian Sayoni, mengatakan dia “sangat kecewa dan marah” atas keputusan pengadilan tersebut.

“Bab 377A tidak hanya mengkriminalkan gay laki-laki. Itu juga membenarkan berbagai prilaku kasar dan melembagakan diskrimnasi terhadap kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual and Transgender-red). Itu (keputusan pengadilan-red) mengirimkan sinyal buruk kepada dunia bahwa Singapura adalah negara yang mundur dan terbelakang,” kata dia.

Semakin banyak orang Singapura yang berterus terang mendukung hak-hak kaum gay. Pada tahun 2012, penyelenggara mengatakan bahwa 15 ribu orang menghadiri sebuah acara tahunan yang disebut “Titik Merah Jambu“ yang mempromosikan kebebasan untuk mencinta tanpa memandang orientasi seksual -- jumlah ini meningkat enam kali lipat dibanding ketika acara ini pertama kali digelar tahun 2009.

Para pemimpin “Titik Merah Jambu“ mengatakan dalam pernyataan mereka bahwa Pengadilan Tinggi “telah melewatkan sebuah kesempatan emas untuk mendorong inklusivitas dan merayakan keberagaman diantara orang Singapura“.

ab/vlz (afp/dpa/ap)