1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengkudeta Mali Serahkan Kekuasaan Setelah Pemilu

30 Maret 2012

Pemimpin kudeta Mali Amadou Haya Sanogo menjanjikan akan laksanakan pemilu dan tegakkan keamanan, namun tidak menyebutkan jadwal tepatnya.

https://p.dw.com/p/14VSt
Junta leader Captain Amadou Sanogo walks at the international airport in Bamako Junta leader Captain Amadou Sanogo (L) walks at the international airport during a demonstration against regional bloc ECOWAS (Economic Community of West African States) in Bamako March 29, 2012. Jets carrying West African presidents for a meeting with Mali's new military leaders were forced to turn back mid-flight on Thursday after hundreds of supporters of last week's coup invaded Bamako's main runway. An official from regional bloc ECOWAS said the meeting, aimed at pressuring coup leaders to swiftly restore constitutional rule after they ousted President Amadou Toumani Toure, could be rescheduled for Friday if security allowed. REUTERS/Luc Gnago (MALI - Tags: POLITICS CIVIL UNREST MILITARY)
Amadou SanogoFoto: Reuters

Pemimpin kudeta di Mali, Amadou Sanogo  hari Jumat (30/3) menyatakan akan gelar pemilu di Mali, namun tidak merincinya. Keamanan juga akan secepatnya ditegakkan. Sebelumnya Sanogo mengimbau masyarakat internasional untuk memberikan bantuan menghadapi pemberontak Tuareg. "Situasi saat ini kritis dan angkatan bersenjata kami perlu dukungan dari mitra-mitra Mali". Demikian ditegaskan pemimpin kudeta Mali, Amadou Sanogo, hari Jumat (30/3) di dekat ibukota Bamako. Sebelumnya, negara-negara tetangga Mali mengancam pengkudeta untuk menerapkan sanksi dan memberikan ultimatum hingga Senin depan.

"Para pemberontak terus menyerang negeri kami dan menteror rakyat", ujar Sanogo di sebuah kamp militer di Kati yang digunakan para serdadu pelaku kudeta sebagai markasnya. Karena itu "kami perlu bantuan untuk melindungi warga sipil dan integritas teritorial Mali", tambah Sanogo. Menurut saksi mata, Jumat pagi (30/3) kota Kidal jatuh ke tangan pemberontak Tuareg dan Islamis bersenjata. Seorang guru mengatakan bahwa militer tidak melakukan perlawanan. Seorang pejabat juga membenarkan pengambilalihan Kidal.

In this May 17, 2010 file photo, a nomad from the Tuareg tribe of the Sahara Desert brings his herd for vaccination to a team of U.S. Special Forces in the Sahara Desert handing out aid near the town of Gao in northeastern Mali. With almost no resistance, al-Qaida in the Islamic Maghreb, or AQIM, is implanting itself in Africa's soft tissue, choosing as its host Mali, one of the poorest nations on earth. Although AQIM's leaders are Algerian, it recruits people from Mali, including 60 to 80 Tuareg fighters, the olive-skinned nomads who live in the Sahara desert, according to a security expert who spoke anonymously because of the sensitivity of the matter. (AP Photo/Alfred de Montesquiou, File)
Tuareg di MaliFoto: AP

Ancaman dari Tuareg dan Ansar Dine

Menurut keterangan sendiri, hari Kamis (29/3) militer Mali terlibat dalam bentrokan bersenjata dengan pemberontak Tuareg dari Gerakan Pembebasan Nasional Azawad (MNLA), sedangkan dari selatan, militer diserang oleh pejuang Islamis Ansar Dine. Menurut kalangan diplomat Afrika,  Ansar Dine didukung oleh pejuang kelompok Al-Qaida Afrika Utara, AQMI.

Pada puluhan tahun terakhir, etnis Tuareg yang hidup mengembara di berbagai negara Afrika berulang kali melakukan pemberontakan dengan kekerasan. Mereka memperjuangkan kemerdekaannya dari wilayah Azawad. Wilayah padang pasir Azawad terbentang dari barat hingga utara Mali dan juga mencakup bagian tertentu dari Niger Utara dan Aljazair Selatan.

Tentara Mali yang melancarkan kudeta pekan lalu menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Touré. Sebelumnya para tentara itu menuntut pemerintah untuk meningkatkan persenjataan dalam upaya memerangi pemberontak Tuareg. Kudeta itu dikritik keras dunia internasional dan di Mali sendiri juga muncul aksi penolakan.

Malian soldiers man a roadblock after a military coup d'etat in the capital Bamako March 22, 2012. Tuareg rebels in northern Mali pushed south to occupy positions abandoned by government forces, sources said, as mutinous soldiers in the distant capital Bamako sought to complete a coup by hunting down the president. Picture taken March 22, 2012. REUTERS/Adama Diarra (MALI - Tags: POLITICS CIVIL UNREST CONFLICT MILITARY TRANSPORT)
Kudeta militer di Bamako, MaliFoto: Reuters

ECOWAS tetapkan ultimatum

Upaya mediasi Masyarakat Ekonomi Negara-Negera Afrika Barat (ECOWAS) Kamis lalu (29/3) dibatalkan akibat demonstrasi pendukung kudeta di bandara. Pemimpin kudeta, Sonogo meminta maaf pada ECOWAS hari Jumat (30/3) atas kejadian tersebut dan mengimbau negara-negara asing untuk tetap mendukung rakyat Mali.

Delegasi ECOWAS yang di antaranya terdapat pemimpin pemerintah Pantai Gading, Liberia dan Niger akhirnya melakukan rapat darurat di bandara Abijan, Pantai Gading. ECOWAS kemudian menetapkan ultimatum terhadap tentara yang melakukan kudeta di Mali. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa pasukan-pasukan Mali diberi waktu 72 jam hingga selambatnya hari Senin (2/4) untuk kembali menciptakan "kondisi yang sesuai dengan konstitusi" di negeri itu. Bila tidak semua negara anggota ECOWAS diserukan untuk menerapkan "embargo diplomatik dan finansial" terhadap Mali.

ECOWAS antara lain mengancam untuk menutup perbatasan dan membatasi ruang gerak pekudeta yang melakukan perjalanan di negara ECOWAS. Selain itu rekening luar negeri mereka dan rekening pemerintah Mali di Bank Sentral Afrika Barat terancam dibekukan. Akses ke pelabuhan negara anggota ECOWAS juga terancam. Hal ini dapat menjadi pukulan berat bagi negara Mali yang terkurung daratan itu. Pemimpin kudeta di Mali menjawab ultimatum ECOWAS dengan imbauan agar menganalisa secara mendalam sebab dari kudeta tersebut.

Christa Saloh Foerster (afpd, dapd, afpd)