1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengungsi Asal Afrika di Berlin

Naomi Conrad11 Oktober 2013

Johnson Ofore adalah salah satu pengungsi asal Afrika yang berhasil sampai ke Berlin. Minggu lalu, adiknya meninggal di Lampedusa dalam kecelakaan kapal pengungsi.

https://p.dw.com/p/19xYB
Foto: picture-alliance/dpa

Johnson Ofore minggu lalu masih berusaha menghubungi adiknya Mati Ofore di Libya lewat telepon. Tapi tidak berhasil. Dia sebenarnya ingin mengingatkan Mati agar menunda dulu rencananya berlayar ke Eropa dan lebih baik mencari pekerjaan di Libya.

"Saya selalu mengingatkan, mulai bulan Oktober perjalanan lewat laut untuk menyeberang (ke Eropa, red.) sangat berbahaya", kata Johnson yang berasal dari Ghana. Ia lalu mendapat telepon dari ayahnya di Ghana, yang memberitahukan bahwa adiknya Mati Ofore termasuk korban yang meninggal di Lampedusa.

Kapal pengungsi itu tenggelam hari Kamis lalu (03/10). Lebih dari 270 pengungsi asal Afrika tewas. Setiap hari, banyak orang dari Afrika yang berusaha melarikan diri dari perang dan kemiskinan. Mereka mencari kehidupan dan masa depan yang lebih baik di Eropa. Ribuan orang meninggal dalam perjalanan karena kapalnya tenggelam.

Sampai ke Berlin

"Lampedusa Village in Berlin", tulisan itu terpampang pada sebuah plakat besar di tengah kumpulan tenda pengungsi di wilayah Berlin-Kreuzberg. Sejak satu tahun, para pengungsi tinggal di dalam tenda-tenda ini sebagai aksi protes. Mereka ingin permohonan suaka diproses dengan cepat.

Di dalam tenda bergantungan pakaian yang sedang dikeringkan. Di tenda dapur umum ada beberapa termos plastik besar berisi kopi. Ada juga peti kayu berisi roti dan apel. Beberapa pria duduk di bawah pohon sambil bercerita. Kebanyakan dari mereka punya pengalaman yang sama. Mereka pernah duduk berdesakan dalam perahu yang berlayar dari Afrika.

Seorang pengungsi di dalam tenda di Berlin-Kreuzberg
Seorang pengungsi di dalam tenda di Berlin-KreuzbergFoto: picture-alliance/dpa

"Wartawan datang ke sini hanya kalau ada perahu besar yang tenggelam", kata salah seorang dari mereka dengan nada agak sinis. Bashir yang berasal dari Nigeria menganggukkan kepada: "Eropa tidak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan pengungsi", katanya.

Pengungsi Afrika berusia 40 tahun itu teringat peristiwa 27 Mei 2011. Ketika itu, kapalnya tenggelam dekat Lampedusa. Dua anak lelaki Bashir meninggal dalam peristiwa itu. "Ini hari yang paling menyedihkan bagi saya". Mereka waktu itu berusaha menghubungi penjaga pantai Italia dan Maroko lewat telepon. Tapi pertolongan datang terlambat.

Pengalaman menyedihkan

Johnson Ofore mengatakan, ia tidak bisa melupakan hari kematian adiknya di Lampedusa. "Saya waktu itu menangis sepanjang hari", ujar pria berusia 43 tahun ini. Dia duduk diatas kasur di dalam tendanya. Johnson mengambil foto dari kopernya: adik perempuannya yang tinggal di Ghana terlihat tersenyum.

Johnson tidak punya foto adik lelakinya Mati yang meninggal di tengah laut. Mati sudah berkeluarga dan punya tiga anak kecil. Johnson ingin mengirim uang untuk keluarga adiknya.

"Saya selalu bilang, dia sebaiknya cari kerja dulu di Libya", kata Johnson sambil menggeleng kepala. Dia ingin tinggal di Jerman dan mencari pekerjaan. Dia bersedia melakukan apa saja. Apalagi sekarang, dia harus membantu keluarga adiknya di Ghana.