1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penyatuan Korea Makin Sulit

Martin Fritz13 April 2013

Korea sejak tujuh puluh tahun terbagi dua. Sulit membayangkan penyatuan kembali kedua negara Korea. Terutama karena perbedaan ekonomi sangat besar.

https://p.dw.com/p/18EyF
A South Korean soldier patrols a checkpoint on the Grand Unification Bridge in Paju, north of Seoul April 10, 2013.
Perbatasan KoreaFoto: Reuters

Tahun 2000, Korea masih penuh harapan. „Sebuah era baru telah dimulai bagi bangsa kami”, kata Presiden Korea Selatan saat itu, Kim Dae Jung, pada bulan Juni 2000. Ia baru saja melakukan pertemuan bersejarah dengan Pimpinan Korea Utara Kim Jong Il di Pyongyang. Kim Dae Jung melaksanakan”politik sinar matahari” untuk melakukan pendekatan terhadap Korea Utara. Karena upayanya, Kim Dae Jung dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian, sama dengan tokoh politik Jerman Willy Brandt, yang melakukan pendekatan pada negara-negara blok Timur.

Kim Dae Jung adalah presiden Korea Selatan pertama yang menawarkan bantuan ekonomi kepada Korea Utara. Ia tidak meminta imbalan secara langsung. Ia hanya menegaskan kepada Pyongyang, bahwa pemerintahannya tidak ingin menguasai Korea Utara. Tujuannya adalah hubungan kemitraan yang setara antara kedua negara dalam situasi damai.

Kim Dae Jung ingin mendorong perubahan di Korea Utara melalui hubungan dagang dan investasi. ekonomi pasar akan tumbuh dan kelas menengah akan muncul. Kemudian Korea Utara bisa memiliki sistem multi partai seperti di Korea Selatan, demikian visi Kim Dae Jung.

Tidak Ada Perubahan Besar

Kenyataannya, setelah rivalitas selama 40 tahun, Korea Selatan ternyata berkembang pesat meninggalkan Korea Utara jauh di belakang. Tahun 1990-an blok Timur runtuh dan era perang dingin berakhir. Korea Utara yang dulu menjadi musuh besar, sekarang menjadi negara yang perlu pertolongan. Berbagai bencana menerpa negara yang tertutup itu. Setelah dilanda musim kering, terjadi bencana kelaparan.

Korea Selatan menyalurkan bantuan pupuk, beras dan gandum ke negara saudaranya di utara. Kedua negara lalu mengambangkan kawasan pariwisata Kumgang dan kawasan industri Kaesong. Proyek-proyek ini merupakan sumber devisa utama bagi Korea Utara.

Tapi tidak terjadi perubahan besar dalam politik Korea Utara. Kim Jong Il tidak melakukan kunjungan balasan ke Korea Selatan seperti yang dijanjikan. Korea Utara malah meneruskan program nuklir dan peluru kendalinya. Presiden Korea Selatan Lee Myung Bak akhirnya menghentikan bantuan pangan. Sejak itu, hubungan kedua negara Korea kembali mendingin.

Berbeda Dengan Jerman

Situasi perpecahan di Korea berbeda dengan di Jerman. Antara warga Jerman Barat dan Jerman Timur dulu masih ada kontak. Warga Jerman Timur juga bisa menangkap siaran televisi dan radio dari Jerman Barat. Mereka bisa mendapat publikasi dan informasi. Jadi mereka punya bayangan tentang untung ruginya sistem ekonomi dan politik di Jerman Barat.

Situasi ini sangat berbeda dengan Korea Utara. Warganya dilarang berhubungan dengan warga Korea Selatan. Mereka tidak boleh mengikuti siaran dari negara asing. Informasi tentang dunia luar sangat terbatas. Kebanyakan warga Korea Utara tidak tahu sama sekali tentang perkembangan di Korea Selatan. Pimpinan Korea Utara selalu menyebarkan ideologi dan retorika perang. Bagi rakyat Korea Utara, Amerika Serikat dan Korea Selatan adalah musuh terbesar yang harus dihadapi dengan kekuatan militer.

Makin sedikit warga Korea Selatan yang percaya pada peluang penyatuan kembali dengan utara. Perbedaan antara kedua negara masih terlalu besar, baik secara politis maupun secara ekonomis. Jika kedua negara bersatu, beban ekonomi yang harus ditanggung Korea Selatan sangat besar. Tapi dulu, tidak ada juga yang menyangka proses penyatuan Jerman Barat dan Timur akan berlangsung demikian cepat.