1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Peradaban Tanpa Perang

17 Oktober 2016

Sebentar-sebentar kita mengaku siap berperang dan membela NKRI. Sebenarnya apakah ada sebuah peradaban yang hidup tanpa sejarah peperangan atau kekerasan? Berikut perspektif Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/2QwAT
Indonesische Unabhängigkeitserklärung Jahrestag
Foto: public domain

Satu topik yang menjadi tajuk majalah New Scientist bulan September 2016 adalah peradaban Lembah Sungai Indus. Terdengar asing? Mungkin tidak. Anda mungkin pernah mendapati nama ini sekilas dari pelajaran IPS sewaktu SMU kendati, saya duga, tak mengingat apa-apa yang berkesan darinya.

Namun, setelah nyaris seabad diekskavasi para arkeolog, peradaban ini terungkap sebagai temuan yang menakjubkan dan tak semata bagi ilmuwan saja. New Scientists melaporkan, Lembah Sungai Indus hanya memiliki satu artefak yang menggambarkan tidak adanya pertikaian antara manusia di masa itu. Kota-kota utamanya tak dibentengi. Tidak ditemukan baju zirah maupun persenjataan militer. Artinya? Artinya, boleh jadi kita akhirnya menemukan satu peradaban yang tak mengenal perang. Satu peradaban yang juga langgeng sepanjang tujuh ratus tahun tanpa mengandalkan invasi atau aksi polisional.

Dan, tak berhenti di sana. Arkeolog juga tak menemukan reruntuhan istana maupun artefak yang mengelu-elukan raja secara spektakuler. Analisis tulang-belulang tak menunjukkan adanya ketimpangan gizi di antara para penduduknya. Rumah orang kaya dan orang miskin tak menunjukkan perbedaan yang berarti. Dan tidak bukti adanya perbudakan. Lembah Sungai Indus, artinya, juga sebuah peradaban yang absen dari kesenjangan yang berarti.

Sebuah utopia yang nyata, cetus sang penulis artikel, Andrew Robinson.

Penulis:  Geger Riyanto
Penulis: Geger RiyantoFoto: Privat

Hanya saja pertanyaan selanjutnya, seperti pertanyaan yang jamak diajukan kepada semua orang:... utopia, mungkinkah?

Mungkinkah ada satu saja peradaban yang utuh sepanjang berabad-abad tanpa melewati peperangan? Tanpa mensyaratkan adanya hierarki kedudukan yang membedakan antara pemimpin dan yang dipimpin, kelas yang memerintah dan yang diperintah? Apabila pertanyaan ini Anda ajukan kepada seorang sosiolog, besar kemungkinan ia akan memulai jawabannya dengan sepatah tanggapan irit. Tidak.

Kekuatan perang

Logikanya biasanya begini. Ketika Anda mau mempersatukan sangat banyak orang di bawah satu raja, dewa, panji, bendera, atau apa pun itu, Anda jelas tak bisa membujuk semuanya secara baik-baik. Anda perlu meyakinkan orang-orang yang keras kepala dengan perbuatan, bukan kata-kata, dan perbuatan yang paling tepat tak lain adalah memerangi mereka dan, tentu saja, Anda harus menang. Ini akan menyadarkan bahwa pilihan terbaik bagi mereka bukanlah hidup di atas kaki mereka sendiri melainkan bersama Anda.

Lantas, dari waktu ke waktu, Anda perlu mengingatkan mereka dengan kedigdayaan Anda yang mengesankan Anda berhak menentukan kehidupan mereka. Hal yang paling jelas adalah Anda perlu membedakan diri Anda dari manusia biasa. Anda perlu tinggal di istana megah Anda sendiri. Menyelenggarakan ritual serta menggarap hikayat yang menabalkan kebesaran Anda. Dan, jangan lupa, agar orang-orang tidak khilaf, Anda perlu menunjukkan bahwa di belakang Anda selalu berdiri kekuatan perang yang siap siaga mengoreksi mereka.

Teori "sosiologi peradaban” ini pun seharusnya tak terlalu asing bagi kita. Peradaban modern, toh, kalau tak mau terlalu terperinci menyebut nama negara-negara tertentu, membenarkan kekerasan yang dilancarkannya dengan teori ini. Perang, kendati disadari ini sebuah kelaliman, tapi kelaliman ini mau tak mau dilakoninya untuk menghalau hal yang lebih buruk terjadi. Negara adalah pahlawan tragis yang, betapapun mencintai rakyatnya, harus berlaku keji kepada mereka agar kesatuannya tidak pecah dan kedaulatannya terjaga.

Percaya pada utopia?

Namun, saya memilih percaya dengan utopia ini. Utopia ini boleh jadi memang nyata. Dan alasannya bukan hanya karena bukti-bukti dari peradaban Lembah Sungai Indus yang nyaris tak bisa ditampik. Perang, pemusatan kekuasaan, aksi polisional pun, saya curiga, merupakan teknik "teruk" mempersatukan masyarakat yang dibuat pada satu periode sejarah tertentu. Tak ada alasan untuk percaya bahwa ia berakar dan sekaligus menunjukkan sifat alami manusia untuk mempertahankan dan merebut kepemilikan dari yang lain.

Saya bukan ahli sejarah peradaban kuno. Tetapi, ada satu-dua sejarah perubahan mekanisme kekuasaan dalam masyarakat yang bisa saya paparkan sebagai bahan argumentasi saya.

Di Maluku, contoh pertama kita, pada awal abad ke-16 seorang sultan tak bisa dikatakan lebih dari pemimpin klan. Ia adalah sosok yang dihormati, mempunyai keunggulan spiritual, namun tak mempunyai otoritas apa pun untuk memerintah di luar komunitas kecilnya. Agar dianggap di komunitas lain, ia harus menikahi perempuan dari komunitas tersebut atau mengikat mereka menjadi saudari susu dengan mempersilakan mereka menyusui bayinya. Itu pun ia tetap tak bisa memerintah mereka sekehendaknya dan harus patuh dengan kesepakatan dengan para sultan lain. Lantas, seorang sultan juga tak dengan sendirinya lebih kaya ketimbang warga desa. Setiap warga pasalnya dapat menghasilkan dan menjual rempah-rempahnya sendiri kepada para pedagang.

Namun, bangsa-bangsa Eropa kemudian datang dalam rangka perburuan rempah-rempah. Akibatnya wajah Maluku berubah selamanya. Dalam prosesnya, sejumlah sultan ditunjuk menjadi pihak yang mewakili seantero komunitas Maluku. Baik Portugis maupun Belanda, pasalnya, keliru mengira sultan tak ada bedanya dengan raja di Eropa. Sultan dianggap mempunyai kekuasaan yang efektif atas orang-orangnya. Sebagai satu-satunya pintu masuk dan keluar perdagangan rempah-rempah, akibatnya, para sultan dapat menumpuk komoditas-komoditas barter berharga merentangi besi, kain hingga, tentu saja, senjata. Mereka juga mendapatkan dukungan dari Eropa untuk menumpas seandainya di wilayah mereka pecah pemberontakan.

Apa yang terjadi pada kurun yang bergolak ini?

Kedudukan sultan pun berubah secara dramatis. Dari seseorang yang memerintah berandal relasi personalnya dengan warga, ia berubah menjadi sosok yang mempunyai kuasa untuk memaksa wilayah-wilayah yang jauh sekalipun untuk tunduk di bawahnya. Ia memiliki busana kebesaran untuk menampilkan diri sebagai sosok suci. Merekpun punya perkakas besi untuk ditukar dengan komitmen desa-desa mengabdi kepadanya. Tetapi, yang paling penting, ia kini memiliki balatentara yang memungkinkannya melancarkan perang dan tak lagi perlu mengandalkan bujukan halus untuk meyakinkan orang.

Konflik, memang, bukannya benar-benar tidak pernah terjadi sebelum kedatangan bangsa Eropa di Maluku. Namun, sebelum kekerasan menjadi pilihan pertama dan utama untuk mempersatukan orang-orang, keutuhan komunitas dijaga dengan hubungan timbal balik yang relatif setara.

Hal serupa dapat kita temukan pula pada sejarah Hawaii. Kamehameha I, raja pertamanya dan sosok pemersatu pulau ini, mampu melakukan apa yang dilakukannya hanya setelah memperoleh senjata dan bubuk mesiu dari Inggris dan Amerika. Bermodalkan persenjataan ini, ia memerangi suku-suku lainnya. Satu-persatu suku lain ditundukkannya. Dan kepala suku terakhir yang masih merdeka, Kauai, menyerahkan kekuasaannya kepada Kamehameha I dalam sebuah perjanjian sebelum kekalahan yang lebih getir harus ditanggungnya. Pada tahun 1795, Kerajaan Hawaii pun berdiri dan ia menjadi raja pertamanya.

Sebelum itu? Menariknya, dari catatan para penjelajah Eropa pertama dan sejarah lisan orang-orang Hawai yang dihimpun Robert J. Hommon, para kepala suku nampak terbiasa menabalkan kepemimpinannya dengan menikahkan anaknya dengan anak kepala suku lain serta menunjukkan kecakapan spiritualnya. Ini mensinyalir di masa lalu satu komunitas suku di Hawaii terikat dengan komunitas lainnya melalui hubungan kekerabatan serta pribadi. Tak berbeda dengan di Maluku.

Utopia  bukan sebuah hal yang mustahil

Pada titik ini, saya harap pesan yang saya siratkan tak terlalu samar-samar. Pesan moral ilustrasi saya, peradaban tanpa perang seharusnya bukanlah sebuah utopia yang mustahil. Mungkinkah di masa lalu seseorang hidup bersama banyak orang lain tanpa mengandalkan kekerasan sebagai perkakas kontrol? jawabannya tegas : Mungkin!.

Sayangnya, ini bukan berarti kita mungkin untuk menghadirkan masyarakat semacam itu saat ini. Setelah kita mengenal kekerasan sebagai cara untuk menjaga keutuhan masyarakat. Kita tak mungkin berpura-pura lupa dengannya. Ia akan selalu menempel pada diri kita sebagai instrumen pengelolaan integrasi yang terlalu menggiurkan untuk diabaikan. Dan kita akan selalu kembali kepadanya, apa pun yang  kita lakukan. Banyak bukti, telah berbicara sendiri. Tanpa ancaman riil saja, sebentar-sebentar kita mengaku siap berperang dan membela NKRI.

Maka peradaban tanpa perang bukan utopia yang mustahil, memang. Tetapi ia adalah utopia yang telanjur lumat. Dilumat kehausan kita pada kekerasan.

 

Penulis: Geger Riyanto

Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.