1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

160511 Iran soziale Netzwerke

18 Mei 2011

Setelah kecamuk melanda negara-negara Arab, peran jejaring sosisal dalam gerakan demokrasi banyak didiskusikan. Juga pihak oposisi Iran memanfaatkannya untuk memobilisasi demonstrasi pasca pemilihan presiden.

https://p.dw.com/p/11Ilv
Gambar simbol Facebook dan revolusi di wilayah ArabFoto: AP/DW

Perlawanan rakyat di negara-negara Arab memicu debat tentang peran internet dalam gerakan demokrasi. Bahwa rejim yang tak demokratis mengambil jalan pintas dengan memutus hubungan internet justru menunjukkan bahwa mereka takut pada efek jaringan sosial. Di Iran, jaringan sosial juga memainkan peran menentukan.

Sebelum negara-negara Arab bergolak, peran komunikasi elektronik sudah terlihat di Iran, yaitu setelah pemilihan presiden yang banyak dipersengketakan, Juni 2009. Kaum muda di Iran banyak berhutang pada Facebook dan Twitter, kata Nina, seorang mahasiswi Iran. Stasiun televisi pemerintah punya andil besar dalam mendorong kaum muda mencari sumber berita lain, kata Nina.

“Sebelum pemilu, Facebook di Iran tak digunakan untuk tujuan politis. Setelah pemilu, saat hampir tiga juta orang turun ke jalan, berita dan gambarnya tak muncul di televisi pemerintah. Maka orang mencari sumber informasi lain di internet, di mana ada berita memadai tentang peristiwa yang mereka alami sendiri di jalan," papar Nina.

Untuk menggambarkan dengan lebih baik peran jaringan sosial di Iran, Nina menunjuk mahasiswa yang ditembak pada aksi protes, Februari 2011. Pihak pemerintah menyebut ia dari milisi Bassij, yang setia pada pemerintah. Tetapi, sejumlah situs internet menyebutnya aktivis oposisi. Sejumlah foto dan video lantas dipublikasi terutama di Facebook dan Youtube, yang menunjukkan mahasiswa penentang pemerintah.

Tetapi, seberapa bisa dipercaya informasi yang beredar di internet? Bagaimana kaum muda Iran bisa memutuskan apakah foto dan video yang muncul di Facebook, atau rencana demonstrasi berikutnya yang diumumkan di internet, sesuai dengan fakta? Nina, mahasiswi 27 tahun yang juga fotografer, mencari informasi lewat Facebook. "Ada anggota Facebook yang memuat berita-berita terbaru di situsnya, sering dilengkapi dengan video. Dari situ saya menilai ia bisa dipercaya. Di pihak lain, jika ada aksi protes, program satelit diganggu dan jaringan telepon genggam lumpuh. Jadi yang tersisa hanya situs internet seperti Facebook, di mana kami bisa mendapatkan berita terbaru."

Masalahnya, pemerintah Iran juga berupaya memanipulasi informasi di jaringan internet. Jurnalis dan blogger Iran, Mehdi, melihat kaitan antara perburuan rejim Iran terhadap para penentangnya di internet dan peran jaringan sosial. "Setelah pemerintah Iran melihat efek dari jaringan sosial, mulailah rejim menyerang jaringan tersebut. Tujuannya menceegah komunikasi elektronik antar para penentang pemerintah. Perang virtual ini tentu harus ditanggapi dengan sungguh-sungguh."

Gerakan demokrasi di Tunisia dan Mesir, yang gelombangnya sampai ke negara Arab lain, disebut sebagai revolusi Facebook dan Twitter. Di Iran, walau Gerakan Hijau diperkuat efek jaringan sosial, namun tak terjadi pergantian kekuasaan seperti di Tunisia dan Mesir. Dapatkah dalam kasus Iran juga disebut 'revolusi Facebook', walaupun gerakan protes dipukul mundur oleh rejim? Mehdi lebih suka menyebutnya revolusi generasi muda yang menggunakan jaringan sosial untuk masa depan lebih baik. Di Iran, walau hubungan internet dilumpuhkan pun, demonstrasi tetap berjalan, kata Mehdi. Jaringan sosial di internet hanyalah sarana penolong guna mencapai tujuan lebih besar, tandasnya.

Sobhani Bahrami/Renata Permadi

Editor: Hendra Pasuhuk