1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perempuan dan Pornografi

Luh Ayu Saraswati1 Agustus 2016

Di Indonesia, pornografi dilarang melalui UU No. 44 tahun 2008. Apakah pornografi memang jadi lawan perempuan? Simak perspektif feminis Luh Ayu Saraswati berikut ini.

https://p.dw.com/p/1JWaL
Indien Verbot Internet Pornographie Symbolbild
Foto: picture-alliance/AP Photo/R. Kumar Singh

Kalau memang ya, mengapa ada pornografi yang justru dibuat oleh feminis, si pejuang hak perempuan? Bisa jadi hal ini disebabkan oleh definisi pornografi yang luas dan luwes, sehingga konsep ini memiliki arti yang berbeda-beda.

Definisi pornografi

Pornografi berasal dari kata Yunani porne dan graphe, yang berarti dan pada awalnya merupakan gambaran dan representasi dari pekerja seks dan courtesans. Feminis sering membedakan antara pornografi yang isinya melecehkan perempuan, dan erotika yang fungsinya adalah memberdayakan seksualitas perempuan.

Jika ini adalah definisi yang kita gunakan, maka pornografi yang dibuat oleh feminis sebenarnya bisa dikategorikan sebagai erotika dan bukan pornografi. Namun, jika kita menggunakan definisi akademis masa kini, yaitu sebagai “material visual dan verbal yang melebihi norma yang diterima masyarakat,” atau “produk komersial yang tujuannya menambah birahi dan mengilik fantasi seksual penonton” maka pornografi yang dibuat oleh para feminis bisa disebut pornografi.

Penulis: Luh Ayu Saraswati
Penulis: Luh Ayu SaraswatiFoto: Luh Ayu Sarawaswati

Pornografi: lawan perempuan?

Di Indonesia, pornografi dilarang, salah satunya adalah untuk melindungi perempuan. Sepintas lalu, hal ini nampaknya merupakan hal yang patut dihargai. Namun jika kita telaah lebih lanjut, ada beberapa hal yang perlu diamati secara mendalam:

1. Pornografi yang melecehkan perempuan hanyalah gejala (symptom) dari penyakit yang lebih kronis: patriarki. Sehingga yang perlu dimusnahkan adalah patriarki. Jika patriarki telah hangus, maka gambaran seksualitas perempuan akan lebih berwarna dan berarti, dan bahkan bisa memberdayakan perempuan, dan tidak melulu hanya mengutamakan birahi laki-laki.

2. Bintang film porno pada dasarnya adalah pekerja. Yang diperlukan, lagi-lagi, adalah perlindungan terhadap pekerja perempuan, baik di dunia seks ataupun di bidang lain. Pelarangan pornografi berarti tidak adanya perlindungan hukum bagi pekerja tersebut.

3. Pornografi, terutama untuk heteroseksual, pada umumnya mengikuti suatu formula yang baku. Dan biasanya film porno berakhir saat bintang laki-laki terpuaskan nafsunya. Hal ini berarti perempuan dianggap tidak memiliki birahi, dan keinginan seksualnya diacuhkan.

4. Banyak kalangan penonton film porno menggunakan film tersebut untuk mencari ide baru untuk bercinta. Hal ini bermasalah ketika film porno sepintas lalu memang sepertinya menggambarkan beraneka ragam posisi, narasi, dan latar belakang adegan seksual, namun sebenarnya, selalu bertolak pada formula baku yang hampir sama. Artinya, semakin banyak anda menonton film porno, semakin sedikit ide permainan cinta Anda, karena fantasi dan imajinasi seksual yang merupakan cerminan kreatifitas manusia terkubur ketika Anda banyak menonton film porno.

Perempuan menebas belenggu seksualitas

Jika pornografi bersumber pada patriarki dan selalu mengutamakan birahi dan dominasi laki-laki, bagaimana kita bisa membentuk hubungan sehat antara perempuan dengan seks dan seksualitas? Beberapa langkah awal yang dapat kita lakukan:

1. Mengubah mitos yang mengganggap perempuan tidak suka seks. Tidak semua orang menyukai seks. Di Amerika, misalnya, identitas kaum aseksual mulai dikenal dan perlu dihargai. Namun bagi perempuan yang tidak aseksual, imajinasi dan keinginan seksual perlu dihargai dan direfleksikan di dalam narasi tentang seksualitas perempuan.

Hal ini adalah alasan utama feminis Amerika Utara membuat film pornografi feminis: sehingga alur cerita dapat terfokus pada seksualitas perempuan. Sudah saatnya kita mengembangkan budaya seksualitas yang sehat bagi laki-laki dan perempuan. (Karena ketika laki-laki hanya diajarkan untuk menjadikan perempuan sebagai objek seksual, seksualitas laki-laki pun tidak sehat.)

2. Perempuan perlu mengenali diri dan tubuhnya sendiri. Karena media, tidak hanya pornografi, sering menjadikan perempuan sebagai objek seksual semata-mata, banyak perempuan yang tidak tahu bagaimana memuaskan keinginan seksualnya. Hal apa yang membuat mereka dapat menikmati indahnya bercinta sepenuh hati?

Sentuhan seperti apa yang mereka inginkan dan titik-titik apa di tubuh mereka yang perlu disentuh untuk meningkatkan daya rangsang seksual? Apakah mereka merasa malu terhadap perut buncitnya? Ataukah mereka dapat merasakan getaran sensual bahkan di serambi kulit yang terbentuk akibat kulitnya melar dan mekar?

Oleh sebab itu, pemahaman tubuh perempuan sebagai mahkluk seksual perlu ditanamkan secara sehat. Perempuan, jangan mau dijadikan alat pemuas seksual laki-laki belaka. Bukan berarti kemudian kita menjadi tidak peduli terhadap kebutuhan pasangan kita, tetapi perlu adanya timbal balik dan saling menghargai satu sama lain.

3. Seks bukan soal teknik, melainkan pemahaman diri sendiri dan komunikasi. Banyak majalah wanita yang mengajarkan teknik bercinta agar dapat memuaskan si dia. Hal ini muncul dari anggapan bahwa semua orang mempunyai keinginan dan birahi yang sama yang dapat dipuaskan dengan cara yang sama. Asumsi yang salah besar. Sebenarnya, seks bukan soal teknik, misalnya berapa derajat tubuh kita harus bergoyang agar pasangan kita dapat terpuaskan. Namun, seks adalah soal awareness setiap waktu terhadap diri sendiri.

Walaupun kita tahu sentuhan macam apa yang dapat memuaskan diri kita sendiri, tidak selalu sentuhan tersebut yang kita inginkan pada saat itu. Terkadang sentuhan yang lebih kasar adalah yang diinginkan saat itu. Dan kita harus dapat mengutarakan keinginan kita setiap saat kepada pasangan kita.

Satu pertanyaan yang bisa kita tanyakan kepada pasangan kita saat bercinta adalah: bagaimana dirimu ingin aku sentuh saat ini? Ini merupakan awal yang baik yang mencerminkan penghargaan terhadap pasangan kita dan ada baiknya dia diajarkan untuk bertanya juga. Dengan pengalaman, komunikasi tidak selalu harus verbal.

Pentingnya erotisme dalam kehidupan sehari-hari

Menurut Audre Lorde, feminis Amerika, pornografi mengutamakan sensasi tanpa emosi dan menyangkal kekuasaan erotisme (the power of the erotic). Padahal erotisme berasal dari kata Yunani eros yang berarti cinta di semua aspek kehidupan. Lorde menjelaskan bahwa erotisme tidak melulu dikaitkan dengan seksualitas. Ini adalah pemahaman erotisme yang salah kaprah.

Erotisme, menurut Lorde adalah sumber kehidupan, kreatifitas, dan kekuasaan yang harus direguk kembali oleh para perempuan, sehingga kehidupan dan pekerjaan perempuan, dan apapun yang mereka lakukan, bahkan menikmati makanan sekalipun, dapat dijalankan dengan penuh cinta dan semangat dari eros. Inilah yang dapat dijadikan kawan perempuan.

Penulis:

L. Ayu Saraswati, seorang penulis, staff pengajar, dan professor di kajian Wanita di Universitas Hawaii. Bukunya yang berjudul Seeing Beauty Sensing Race in Transnational Indonesia mendapat penghargaan dari National Women's Studies Association sebagai buku terbaik di bidang feminisme transnasional tahun 2013.

@Dr_Saraswati

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.