1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perempuan Marokko Lawan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

5 Desember 2009

Tema kekerasan terhadap perempuan bisa ditemukan dimana-mana. Ini bukan lagi masalah yang hanya terjadi di negara tertentu. Namun di lain pihak, tidak bisa dipungkiri, dari beberapa negara masalah ini kerap terdengar.

https://p.dw.com/p/KqxW
Foto: DW

Di negara yang mengalami perang saudara atau tengah terjadi konflik bersenjata misalnya, kurang adanya perlindungan dari segi hukum. Di negara lain, masih ada diskriminasi gender yang sudah merupakan bagian dari budayanya. Di Marokko, organisasi perempuan lokal dan LSM sejak bertahun-tahun berjuang untuk menghentikan aksi kekerasan dalam rumah tangga.

Untuk ketujuh kalinya, pemerintahan Marokko, LSM, dan organisasi-organisasi perempuan mengorganisir kampanye anti kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan. Selama dua minggu, dengan cara yang berbeda-beda, mereka berusaha menjadikan tema tersebut sebagai pokok pembicaraan di seluruh Marokko. Boschra Abdou, sekjen organisasi perempuan Liga Demokratis bagi Hak Perempuan atau LDDF menganggap usaha tersebut adalah langkah yang berarti. Ia mengatakan :

„Kampanye ini sangat penting. Ia memainkan peranan besar dalam menjelaskan kepada masýarakat tentang akibat dari aksi kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, kami juga berharap agar para remaja lebih memperhatikan dan menghormati hak-hak perempuan. Mereka harus belajar bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak dan martabat.“

Kampanye perlindungan dari aksi kekerasan nasional tersebut, memang diorganisir oleh pemerintah. Tetapi ini berkat perjuangan bertahun-tahun organisasi perempuan dan HAM Marokko. Diantaranya, liga demokratis bagi hak perempuan. Mereka menyediakan nomor telepon darurat dan 15 sarana konsultasi bagi mereka yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu mereka juga mendirikan rumah perlindungan bagi perempuan, yang tidak hanya memberikan tempat tinggal bagi perempuan yang melarikan diri dari rumahnya, tetapi juga membantu dalam hal masalah hukum dan perawatan kesehatan.

„Jumlah korban perempuan akibat kekerasan dalam rumah tangga terus bertambah dan semakin mengerikan. Kami tidak hanya berurusan dengan korban kekerasan fisik atau seksual, tetapi juga kekerasan yang sedemikian parahnya hingga luka yang ada tidak bisa disembuhkan lagi. Dalam beberapa kasus para perempuan bahkan terancam nyawanya.“, demikian Boschra.

Ia menceritakan kasus yang terjadi di Agadir, selatan Marokko. Seorang perempuan muda yang tengah hamil disiram dengan air panas oleh suaminya. Selama berbulan-bulan ia berada di rumah sakit dalam keadaan kritis.

Meningkatnya jumlah korban kekerasan rumah tangga tidak berarti bahwa fenomena ini juga bertambah banyak. Sebaliknya. Ini menunjukkan, bahwa semakin banyak perempuan di Marokko yang berani menceritakan nasib mereka dan mengajukan pelakunya ke pengadilan. Beberapa tahun yang lalu hal ini tidak bisa dibayangkan. Tema kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang tabu dibicarakan di Marokko. Reaksi yang diperoleh dari para perempuan tersebut sekarang adalah hasil kerja keras.

„Berkat perjuangan organisasi perempuan dan gerakan perempuan lah kami bisa memecah kebungkaman mereka.“, demikian menurut Faouzia Assouli, pendiri dan presiden liga demokratis.

Tetapi hingga kini tetap saja mayoritas masyarakat menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah pribadi dan tidak sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Faouzia mengatakan, banyak yang berpendapat bahwa membicarakan masalah atau konflik keluarga dengan pihak luar adalah hal yang memalukan. Sehingga, kekerasan terhadap istri, anak perempuan, saudara perempuan yang dilakukan oleh laki-laki yang masih anggota keluarga, dimengerti sebagai bagian dari cara mendidik yang benar. Sayangnya, ini juga pendapat banyak perempuan.

Faouzia menjelaskan : „Kekerasan dalam rumah tangga sudah terjadi semenjak berabad-abad karena dominasi kaum laki-laki dalam masyarakat. Sikap ini diteruskan kepada generasi yang berikutnya dan menjadi bagian dari budaya mereka.“

Menurut Faouzia, kekerasan rumah tangga di Marokko bukanlah fenomena kelas sosial tertentu. Namun, korban yang paling menderita adalah perempuan yang tidak memiliki uang sendiri atau tidak berpendidikan. Selain itu, anak laki-laki dan anak perempuan dibesarkan berdasarkan gender mereka untuk peran mereka dalam masyarakat di kemudian hari. Anak perempuan harus patuh terhadap ayah, saudara laki-laki dan kemudian suami mereka. Sementara anak laki-laki ditegaskan untuk menjadi sosok yang kuat, supaya kelak memainkan peran yang dominan dalam keluarga. Faouzia ingin mengubah pola ini.

„Kita membutuhkan politik pendidikan baru. Generasi muda harus dididik untuk melarang kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi terhadap perempuan. Generasi baru harus diajarkan tentang persamaan hak antar gender.“

Sebenarnya, lima tahun yang lalu, persamaan hak laki-laki dan perempuan telah diakui di mata hukum Marokko. Februari 2004, ‚Moudawana‘ undang-undang keluarga yang baru diratifikasi. Walaupun beberapa paragraf jelas-jelas berdasarkan hukum Syariah, dalam banyak hal segi hukumnya sesuai dengan tuntutan Dewan HAM PBB. Sayang, banyaknya kaum perempuan yang buta huruf dan bergantung pada suami mereka karena masalah keuangan, menyebabkan penerapan ‚Moudawana‘ di banyak wilayah Marokko menjadi sulit. Kembali Faouzia : „Kami terus berusaha mendesak pemerintah dan meneruskan usaha lobi, supaya pemerintah mengesahkan undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan. Kami mengorganisir berbagai kampanye , aksi protes dan usaha negosiasi dengan beberapa kementrian untuk mencapai mekanisme dalam sebuah lembaga yang bisa menghentikan aksi kekerasan terhadap perempuan.“

Usaha yang dilakukan mulai membuahkan hasil. Pemerintahan Marokko beberapa tahun yang lalu menjalankan strategi nasional untuk memerangi kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan. Dibukalah hotline gratis dan kantor-kantor khusus di banyak pengadilan Marokko untuk memberikan perlindungan yang lebih bagi para korban. Menurut Faouzia, lembaga pemerintah yang lebih berpengaruh masih kurang. Mereka menuntut adanya koordinasi antara pihak yang berbeda dalam usaha memerangi kekerasan rumah tangga.

Kementrian Sosial Marokko mengumumkan dalam situs internet mereka tentang langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki situasi para perempuan. Langkah tersebut hanya terbatas pada kampanye penerangan. Selain itu, dalam situs juga tertera bahwa kementrian telah melakukan penelitian terhadap kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2008. Namun, hasil penelitian, angka-angka yang jelas atau kelanjutan dari penelitian tersebut tidak disebutkan.

„Kita membutuhkan langkah yang lebih jelas dan hukuman yang lebih berat bagi para pelaku.“, demikian tuntutan Faozia Assouli. Ia juga berharap penghapusan beberapa paragraf, seperti yang misalnya menuntut adanya saksi mata yang bisa membuktikan terjadinya aksi kekerasan tersebut. Padahal sebagian besar kasus kekerasan dalam rumah tangga terjadi di ruangan tertutup, tanpa saksi mata. Hingga tujuannya tercapai, Faouzia akan terus berjuang bersama organisasinya untuk membuka mata para perempuan tentang hak-hak mereka di mata hukum, supaya mereka tahu dan sadar bahwa mereka berhak untuk melawan dan mengadukan permasalahannya ke pengadilan.

Chamselassil Ayari / Vidi Legowo-Zipperer

Editor: Hendra Pasuhuk