1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

280311 Nigeria Frauenrechte

8 April 2011

Prosentasi perempuan dunia yang memiliki mandat politik 19%. Bagi perempuan Nigeria untuk mencapai angka ini sangat sulit. Di sana, apabila perempuan ingin masuk dunia politik, ia harus kuat menghadapi banyak hantaman.

https://p.dw.com/p/10pKb
Hanya poster-poster kandidat pria sajalah yang menghiasi jalanan di Nigeria pada masa kampanye Pemilu ParlemenFoto: DW/Katrin Gänsler

Princess Tayo sementara ini terus melakukan perjalanan. Sejak lebih 30 tahun, perempuan Nigeria ini aktif di ajang politik. Belakangan ia terlibat dalam kampanye untuk Partai Kongress Aksi Nigeria, ACN. Ia sendiri tidak tampil sebagai kandidat. Tetapi di daerah tempat ia tinggal, yakni Ebute Meta, sebuah kawasan ramai di ibukota Lagos, Princess Tayo berbicara dengan semua teman dan kenalannya mengenai tujuan dan target-target partainya.

Perempuan Dianggap Tidak Mampu

Tanggal 2 April, Nigeria memulai pemilihan umum secara maraton, antara lain untuk memilih parlemen dan presiden baru. Dalam daftar kandidat, hanya segelintir nama perempuan yang muncul. “Peluang bagi perempuan Nigeria sangat tipis. Banyak orang Afrika yang masih berfikir bahwa sejumlah jabatan tidak bisa diisi oleh perempuan,” dikatakan Princess Tayo.

Princess Tayo selalu kesal bila memikirkan pandangan-pandangan seperti itu. Bagi politisi perempuan Nigeria, masa yang terburuk adalah saat Nigeria berada di bawah kekuasaan militer, yang dalam rotasi tetap bergantian dengan pemerintahan sipil. Era pemerintahan militer selalu ditandai dengan kesemena-menaan. Pernah sekali secercah harapan timbul dalam hati kaum perempuan, yakni ketika Moshood Abiola terpilih sebagai presiden, pada 12 Juni 1993. Tapi ketika itu rejim militer tidak mau mengakui hasil pemilu. Princess Tayo bersama kaum perempuan lainnya turun ke jalan di Lagos, berunjuk rasa memprotes sikap militer. Mereka semua ditangkap dan untuk satu malam terpaksa mendekam di penjara.

Kekerasan terhadap Politisi Perempuan

Kini di Nigeria situasi politiknya sudah berubah secara mendasar. Sejak 1999 Nigeria kembali memiliki pemerintahan sipil. Selain itu organisasi-organisasi perempuan bisa turut menentukan. Tapi kinipun kekerasan terhadap politisi perempuan kerap terjadi. Beberapa pekan lalu, seorang perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilihan senat, dipukuli di hadapan rekan-rekan separtainya yang hanya berpangku tangan. Mereka memang tidak menginginkan perempuan sebagai kandidat ketua partai, mereka menginginkan lelaki yang tampil. Ini terjadi, meskipun Nigeria pada 1985 telah menandatangani CEDAW, persetujuan PBB yang menentang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Menurut Alvana Ojukwu, serangan-serangan seperti itu justru merupakan dasar mengapa representasi perempuan sangat rendah dalam jabatan-jabatan politik. Perempuan muda ini bekerja di Pusat untuk Demokrasi dan Pembangunan Nigeria, yang memiliki banyak cabang di negara itu dan bergerak dalam upaya demokratisasi Nigeria. “Baru 7 persen penyandang mandat politik di Nigeria adalah perempuan. Statistik menunjukkan, bahwa dalam parlemen yang memiliki 360 kursi hanya 27 yang diisi perempuan. Di Senat ada 109 kursi dan hanya 9 diisi perempuan,” papar Alvana Ojukwu.

Memperjuangkan Kuota Perempuan

Untuk mengubah itu, organisasi-organisasi hak perempuan menuntut diberlakukan sistim kuota dengan undnag-undang. Melalui sistem ini bisa dijamin, bahwa sedikitnya 35% semua jabatan politik diisi seorang perempuan. Semua partai politik juga dituntut, agar menempatkan satu perempuan di setiap tiga kandidat di dalam daftar calon anggota parlemen. Tahun 2010 lalu, ada peluang untuk mengukuhkan sistim ini dalam Undang Undang Dasar. Tapi kaum perempuan gagal, begitu ungkap Rabi Musa Abdullahi, dari organisasi perempuan Wrapa dan bertanggung jawab untuk pencerahan politik.

“Kami tidak beruntung. Memang 60% anggota komite mendukung inisiatif kami. Tapi pemberlakuan sistim kuota itu ditolak oleh parlemen. Namun kami tak akan berhenti, dan tidak akan lelah memperjuangkan ini. Juga di masa depan tema-tema perempuan akan terus kami bawa dalam agenda sehari-hari dan berjuang bagi sistem kuota ini,“ dikatakan Rabi.

Tidak Ada Dukungan

Perjuangan tidak berhenti disini. Adanya sistem kuota untuk perempuan masih belum diketahui banyak orang. Tak satupun partai politik Nigeria yang mengusungnya sebagai tema kampanye. Anggota partai yang lelaki kebanyakan hanya tersenyum penuh kasihan. Solidaritas sesama perempuan terhadap tema ini juga tidak terlalu baik. Maka Sarah Jibril hanya memperoleh satu suara saat berjuang menjadi calon ketua Partai Demokrat Rakyat. Dan itu adalah suaranya sendiri. Mengapa anggota partai yang perempuan tidak memilih dia, begitu sindir banyak anggota partai yang lelaki sambil menambahkan, memang ia tidak cukup kompeten untuk memimpin partai.

Cerita yang sama datang dari Amina Ibrahim Yusuf. Ia pantang menyerah memperjuangkan sistem kuota. Amina termasuk dalam kelompok 100 perempuan yang membuat promosi tentang hal itu, di seluruh Nigeria. Namun rekan-rekan separtainya hanya mengangkat bahu. “Beberapa orang bahkan tidak tahu apa itu sistem kuota 35 persen. Pemimpin partai saya menerima surat berisi keterangan tentang rekomendasi kuota, ia malah bertanya ‘Surat apa itu?'”

Di Nigeria yang didominasi pria, selian soal kuota, hal yang terutama harus diubah adalah pandangan terhadap poltisi perempuan. Suatu hal yang sering membuat Amina Ibrahim Yusuf sedih, minggu-minggu terakhir. Awal tahun 2011 ini ia memenangkan pemilihan sebagai calon Senat di daerah asalnya. Namun awal bulan April, seorang lelakilah yang tampil sebagai calon resmi dari partai. Petinggi partai mendasari keputusan itu dengan alasan, perempuan tidak mampu.

Katrin Gänsler/Edith Koesoemawiria

Editor: Yuniman Farid