1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

300909 EU Institutionen

2 Oktober 2009

Lewat perjanjian Lisabon, kekuasaan jabatan tinggi di lembaga UE seperti ketua dewan atau ketua komisi akan berubah. Yang hendak dicapai adalah peningkatan kontinuitas dan kerjasama di parlemen.

https://p.dw.com/p/JwYz
Perjanjian LisabonFoto: AP

Peningkatan kontinuitas dan popularitas Eropa merupakan sasaran penting perjanjian Lisabon. Selama ini negara anggota UE bergilir setiap setengah tahun sekali memangku jabatan ketua dewan. Pemerintahan yang kuat dan lemah, tokoh yang menonjol atau hati-hati, semua telah mendapat kesempatan menjadi ketua dewan UE untuk masa enam bulan Berdasarkan perjanjian Lisabon, kepemimpinan di dewan UE akan diambilalih oleh seorang kepala pemerintah atau negara selama dua setengah tahun. Namun, kemampuan apa yang harus dikuasai oleh seorang ketua dewan? Günter Gloser, pejabat tinggi kementerian luar negeri Jerman memaparkan, "tentunya ketua dewan harus mempunyai kemampuan untuk mempersatukan anggota. Ia jangan hanya membela negara besar atau kecil. Tetapi harus dapat menjaga keseimbangan. Ia harus memiliki kepribadian yang dapat diterima oleh negara anggota, tetapi juga mewakili UE ke luar.“

Untuk urusan politik luar negeri selama ini ada utusan khusus dan komisaris. Berdasarkan perjanjian Lisabon dua posisi ini akan digabung dan dikepalai seorang utusan tinggi untuk urusan luar negeri dan pertahanan. Ia sekaligus akan merangkap sebagai wakil ketua komisi UE. Jadi memangku jabatan di dewan dan komisi. Sekaligus memimpin dewan menteri luar negeri UE. Gloser menuturkan, "menurut saya baik ada menteri luar negeri UE, sekalipun sebetulnya tidak demikian. Terlalu banyak orang yang dulu mengurusi masalah luar negeri Eropa. Memang sejak dulu sudah membingungkan. Dan kini kita ada satu orang yang sekaligus menjabat sebagai wakil ketua komisi UE. Jadi, nantinya kinerja untuk bidang penting ini di UE akan lebih efektif lagi.“

Namun apakah dengan begitu masalah siapa yang akan mewakili UE ke luar terselesaikan? Jacki Davis dari Pusat Politik Eropa meragukan hal tersebut. Menurutnya, hanya bentuk perebutan kekuasaan yang akan berubah. Kata Davis, "saya kira di antara tiga jabatan itu, yaitu ketua komisi, ketua dewan dan utusan tinggi politik luar negeri bakal ada ketegangan. Sampai ke tingkat tertentu, semuanya ingin mewakili UE di panggung dunia. Tiga-tiganya akan mencoba menyepak yang lain. Misalnya dalam pertemuan dengan presiden AS. Siapa yang nantinya tampil dalam konferensi pers? Kita nantinya akan mengalami lebih banyak perebutan posisi lagi.“

Berbeda dengan dewan UE, komisi Eropa hingga kini mempunyai seorang pemimpin yang sejak beberapa tahun menjabat posisi tersebut. Apakah itu berarti lewat perjanjian Lissabon dewan UE akan memperoleh kekuasaan lebih banyak lagi? Menurut Jacki Davis, posisi dewan Eropa memang jadi lebih kuat. Perjanjian Lisabon juga memperkuat peran parlemen Eropa. Keputusan dalam banyak hal diambil lewat suara mayoritas.

Berfungsi atau tidaknya perjanjian Lisabon, tidak hanya tergantung pada masing-masing lembaga. Akan tetapi pada pribadi para tokohnya. Akankah mereka saling memblokir atau bersama-sama memajukan UE?

Christoph Hasselbach / Andriani Nangoy

Editor: Hendra Pasuhuk