1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perlindungan Bagi Tentara Anak Harus Ditambah

11 Februari 2011

Sejak tahun 2002, hukum internasional melarang anak-anak dan remaja untuk turut berperang. Namun, tidak semua negara mematuhinya.

https://p.dw.com/p/10F4b
Foto: picture-alliance/ dpa

Mereka seringnya berperang di bawah bayang-bayang peristiwa dunia : Menurut perkiraan PBB, di Asia, Afrika, dan Amerika Latin ada sekitar 250 ribu tentara anak. Setiap anak memiliki cerita yang berbeda, tetapi penderitaannya sama.

"Saya tidak hanya harus berperang, saya juga berulang kali diperkosa oleh komandan saya." Demikian kisah Grace Akallo yang berusia 15 tahun saat ia diculik oleh kelompok pemberontak Uganda. Saat itu mereka menyerang sekolah Grace. Cara seperti ini sering terjadi, tidak hanya di wilayah bergolak Afrika, tetapi juga di Afghanistan ini adalah bagian dari sebuah keseharian.

Afghanistan tengah berusaha membentuk kepolisian dan militer dengan cepat untuk memenuhi tuntutan para negara pelindung. Tetapi tentara anak di Hindukush juga direkrut secara resmi oleh badan pemerintah. Kini pemerintah di Kabul secara resmi menentang praktik semacam itu. Negara ini menandatangani dokumen resmi yang menyatakan akan melindungi anak-anak di wilayah konflik. Hal yang dianggap sebagai sebuah keberhasilan oleh PBB.

"Kalau berkaitan dengan anak-anak, semua sepakat. Setiap orang yang bermoral di Afghanistan ingin bahwa hal semacam itu dihentikan." Demikian Radhika Coomaraswamy, utusan khusus PBB urusan anak-anak di kawasan konflik.

Berdasarkan dokumen perjanjian dengan PBB, tidak hanya tentara anak yang dilindungi tetapi juga penganiayaan anak. Banyak panglima perang dari suku-suku di Afghanistan memiliki budak seks, anak laki-laki yang usianya tidak lebih dari sembilan tahun. Anak-anak itu harus menari sambil menggunakan pakaian anak perempuan dan sering menjadi korban perkosaan. Kesepakatan antara Afghanistan dan PBB juga dianggap sebagai keberhasilan, karena negara ini untuk pertama kalinya mengakui eksistensi masalah ini.

Sejauh apa pelaksanaannya, tetap menjadi masalah. Baik perpanjangan tangan pemerintahan di Kabul, mau pun cabang kantor PBB di daerah tidak merambah seluruh lokasi yang menjadi korban konflik. Ini juga pendapat Petter Wittig, duta besar Jerman bagi PBB yang ingin memanfaatkan keanggotaan Jerman di Dewan Keamanan PBB untuk mencari solusinya. "Dewan Keamanan harus lebih aktif dalam menangani tema kemanusiaan semacam ini. Dan kami ingin turut terlibat. Karena ini juga bagian dari politik perdamaian aktif kami."

Wittig menambahkan, Jerman ingin menjadi pionir dan mendapat dukungan dari negara anggota dewan tertinggi di PBB. Tujuannya adalah resolusi Dewan Keamanan yang memperkuat perlindungan bagi anak-anak di kawasan konflik bersenjata. Khususnya, dalam usaha membuka identifikasi pelaku. Nama mereka akan tertera dalam daftar hitam dan mereka akan dihukum.

"Jika melalui bujukan tidak berhasil, maka pelaku harus merasakan hukumannya sendiri. Untuk itu kami punya instrumen yang bisa diterapkan, juga dengan mengerahkan sanksi." Wittig menambahkan, kesempatan baik bagi Jerman untuk melaksanakannya adalah bulan Juli tahun ini. Karena saat itu giliran Jerman menduduki jabatan ketua Dewan Keamanan PBB dan berhak untuk mengusulkan tema-tema yang menjadi fokus utama.

Thomas Schmidt / Vidi Legowo-Zipperer

Editor : Hendra Pasuhuk