1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pakistan Krise

19 Januari 2012

Mahkamah Agung Pakistan memanggil PM Yusuf Raza Gilani. Gilani memberikan keterangan terkait penolakan dirinya untuk membuka kasus dugaan korupsi yang melibatkan Presiden Zardari.

https://p.dw.com/p/13lkc
Militer Pakistan punya pengaruh politik yang sangat besarFoto: AP

Di hadapan Mahkamah Agung, Perdana Menteri Yusuf Raza Gilani menjelaskan alasannya menolak membuka kembali kasus dugaan korupsi Presiden Asif Ali Zardari “Adalah merupakan keyakinan saya bahwa Presiden Zardari memiliki kekebalan hukum penuh di dalam maupun luar negeri". Ia menambahkan bahwa konstitusi Pakistan, menjamin adanya kekebalan hukum bagi Presiden.

Namun, hakim kelihatannya tidak puas dan meminta Perdana Menteri Gilani, meyakinkan mereka terkait masalah imunitas Presiden, dalam sidang berikutnya. Meski pengadilan mengatakan Perdana Menteri tak perlu hadir langsung, cukup hanya dengan memberikan memo penjelasan atas perkara ini.

Perdana Menteri Gilani, kini menghadapi tuduhan menghina pengadilan, terkait penolakannya untuk membuka kembali kasus dugaan korupsi Presiden Zardari. Jika terbukti bersalah, maka Perdana Menteri Pakistan itu akan dicopot dari jabatannya.

Bagi banyak kalangan, pengadilan itu bukan sekedar perkara hukum. Pengadilan ini menjadi panggung pertarungan antara para politisi sipil yang ada di parlemen dan pemerintahan, dengan kelompok militer dan dinas intelijen ISI yang menguasai sistem peradilan Pakistan.

Pada saat Gilani mendapat tekanan pengadilan, parlemen Pakistan hari Senin (16/1) lalu dengan suara bulat menyetujui sebuah resolusi yang menegaskan bahwa bentuk pemerintahan Pakistan adalah demokrasi sipil.

Iqbal Haider adalah bekas Menteri Kehakiman pemerintahan sipil Pakistan era Benazir Bhutto mengatakan “Pertarungan antara institusi adalah motif yang disengaja oleh pemerintah. Sejak awal mereka sengaja mengabaikan perintah Mahkamah Agung. Pemerintah saat ini sedang berkonfrontasi dengan militer dan pengadilan“.

Politisi sipil Pakistan, belakangan semakin tidak popular karena tuduhan korupsi dan tidak kompeten dalam menjalankan pemerintahan. Pakar kebijakan dan hak asasi manusia Pakistan, Harris Kahlique, menilai ada kelompok yang sedang membombardir pemerintahan sipil “Jika terguling maka ini bukan soal korupsi atau ketidak mampuan pemerintahan sipil. Ini adalah soal tarik menarik antara institusi untuk menentukan siapa yang lebih berkuasa”.

Pemerintahan sipil Pakistan, kini juga menghadapi skandal “Memogate” setelah terungkap adanya sebuah surat permintaan bantuan kepada Amerika Serikat, untuk mencegah kemungkinan kudeta militer.

Operasi pembunuhan Osama bin Laden, mengindikasikan keterlibatan elit militer Pakistan dalam menyembunyikan gembong teroris itu. Militer Amerika, menuding tentara dan dinas intelijen Pakistan ISI, melindungi kelompok Taliban dan Al Qaida yang bersembunyi di perbatasan, dengan tujuan mengganggu keamanan Afghanistan. Hubungan militer kedua negara yang sebelumnya mesra, semakin memburuk setelah insiden salah tembak pesawat dan helikopter NATO yang menewaskan 23 tentara Pakistan di perbatasan dengan Afghanistan.

Situasi inilah yang diduga telah dimanfaatkan politisi sipil Pakistan, untuk menekan militer dan dinas intelijen ISI yang selama ini dianggap sangat berkuasa, dengan menggunakan tangan Paman Sam. Pengamat menilai bagi kelompok militer, partai liberal seperti PPP yang kini berkuasa, dianggap relatif pro Amerika.

Andy Budiman

Editor: Hendra Pasuhuk