1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

201010 Pakistan Machtkampf

20 Oktober 2010

Cekcok antara pengadilan dan Partai Rakyat Pakistan sudah berlangsung beberapa lama, menyangkut tuntutan Mahkamah Agung untuk membuka kembali kasus korupsi terhadap Presiden Asif Ali Zardari dan pemimpin politik lainnya.

https://p.dw.com/p/PjFs
PM Yusuf Raza GillaniFoto: Abdul Sabooh

Pekan lalu, pertikaian tampak di ambang pintu. Stasiun-stasiun televisi melaporkan, pemerintah berencana melakukan serangan balasan dan menerbitkan pemberitahuan. Islamabad akan mencabut perintah dari tahun 2009 yang memulihkan jabatan para hakim yang dipecat mantan Presiden Pervez Musharraf.

Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Chaudhry menanggapi dengan langkah dramatis. Tengah malam, sebelum jarum jam menunjukkan pergantian hari, ia memanggil rapat 17 hakim agung. MA kemudian mengumumkan, langkah apapun yang diambil untuk kembali memberhentikan para hakim adalah tidak konstitusional dan meminta jaminan tertulis dari pemerintah bahwa langkah seperti itu tidak sedang dipertimbangkan.

Bahkan bagi Ali Ahmad Kurd, mantan Ketua Asosiasi Pengacara Mahkamah Agung dan pemimpin gerakan pengacara melawan Musharraf, langkah yang belum pernah diambil sebelumnya itu terlampau jauh, "Saya pikir ini perang urat syaraf. Menurut saya, para hakim tidak perlu melakukan rapat Mahkamah Agung pada malam hari."

Dalam pidato di televisi hari Minggu (17/10), Perdana Menteri Yusuf Raza Gilani berjanji tidak akan ada konfrontasi antara lembaga negara. Ia mengatakan, adalah 'penghinaan' bagi kantor perdana menteri bahwa para hakim agung bertindak hanya berdasarkan pada kabar angin. Gilani menekankan tidak ada rencana untuk memindahkan para hakim dari jabatannya.

Untuk sementara, para hakim dan pengacara tampak puas dengan jaminan dari perdana menteri. Kepada perdana menteri, Ketua Asosiasi Pengacara Mahkamah Agung Qazi Anwar mengatakan, "Badan peradilan bukan partai politik, bukan lawan Anda dalam hal apapun. Para hakim tidak akan mengambil alih kursi Anda, juga tidak akan diuntungkan jika Anda turun."

Meski begitu, kritik menyebutkan, pengadilan sekali lagi melangkahi batas-batasnya. Kolumnis politik Marvi Sirmed mencatat, "Rakyat Pakistan muncul untuk mengawal kehormatan badan peradilan tahun 2007, dan dunia menyaksikannya. Tapi sekarang, cara badan peradilan menegakkan otoritasnya sepadan dengan kediktatoran pengadilan di Pakistan."

Namun drama politik terbaru di Islamabad terutama menyoroti peran aktor politik penting lainnya di Pakistan belakangan ini, yaitu stasiun televisi. Marvi Sirmed mengatakan, "Sangat menggugah rasa ingin tahu, kenapa media memulainya. Maksud saya, pada dasarnya ini semua dibangkitkan oleh media. Dan tetap tidak terbukti bahwa ada pemberitahuan semacam itu dari kantor perdana menteri. Tidak seorangpun yang muncul membawa salinan pemberitahuan atau dugaan apapun tentang pemberitahuan itu. Tapi tetap saja media mengudarakan berita itu selama lebih dari 24 jam."

Untuk menunjukkan seberapa besar kerenggangan antara pemerintah dan sebagian media kini, partai penguasa Partai Rakyat Pakistan, PPP, mengumumkan boikot terhadap kelompok media terbesar di Pakistan, Jang. Kepala bagian informasi PPP Fauzia Wahab mengatakan, pemimpin partai tidak bersedia diwawancara grup media itu, sampai para jurnalis menarik kampanye mereka melawan partainya. Stasiun televisi yang paling banyak ditonton di Pakistan, Geo TV, termasuk kelompok Jang.

Thomas Bärthlein/Renata Permadi

Editor: Yuniman Farid