1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

270310 Irak Koalitionen

27 Maret 2010

Setelah kemenangan oposisi pada pemilu lalu, Irak terancam menghadapi kekosongan kekuasaan. Rumitnya perundingan koalisi, ditambah penolakan PM Al-Maliki untuk mengakui hasil pemilu, memperlambat pembentukan pemerintahan

https://p.dw.com/p/Mfza
Iyad Allawi (ki.) dan Nuri Al-Maliki (ka.)Foto: AP/dpa/Fotomontage:DW

Keduanya dikenal haus kekuasaan dan bertekad baja: Iyad Allawi, pemimpin aliansi partai sekuler Al-Iraqiya yang memenangkan pemilu di Irak dengan meraih 91 kursi - dan Nuri Al Maliki, perdana menteri saat ini dan pemimpin Koalisi Negara Hukum yang meraih 89 kursi di parlemen.

Keduanya mengkampanyekan pesan-pesan sekuler dan menekankan konsep persatuan nasional. Meski pada akhirnya ego kekuasaan juga yang menggariskan perbedaan antara keduanya. PM Nuri Al-Maliki hingga kini belum mau mengakui hasil penghitungan suara.

Menurut pandangan Ghassan al Attiyah dari Yayasan Irak bagi Demokrasi dan Pembangunan, koalisi kedua kubu merupakan solusi terbaik. "Maliki mewakili terutama para pemilih Syiah, sementara Allawi terutama didukung oleh warga Arab Sunni. Koalisi keduanya akan sangat ideal dan logis." Namun al-Attiyah juga mengakui, bahwa "kebencian dan permusuhan" di antara kedua kelompok dapat merintangi.

Maliki dapat saja berusaha untuk melakukan rekonsiliasi dengan mantan mitra koalisinya, Aliansi Nasional Irak, perhimpunan partai berhaluan religius Syiah, yang meraih 70 kursi. Kontak di antara kedua pihak sudah dilakukan.

Menghindari perpecahan

Namun Attiyah memperingatkan, "Koalisi tanpa Allawi dan pendukungnya tidak akan bermanfaat. Karena kemudian Sunni mengatakan, ’berbeda dari lima tahun lalu, kali ini kami ikut andil dan turut serta dalam proses politik – tapi sekarang kami sekali lagi dikhianati, dan oleh sebab itu yang tersisa adalah kekerasan.’"

Sebaliknya, jika Allawi membentuk koalisi tanpa melibatkan Maliki,"maka provinsi-provinsi Syiah yang mendukung Maliki merasa dikhianati dan mengatakan, ’Lihat, sekarang kubu Baath kembali berkuasa.’ Itu akan memicu era baru kerusuhan," ujarnya.

Aliansi lain yang patut diperhitungkan adalah Aliansi Kurdistan. Lima tahun lalu Maliki mendapat bantuan dari aliansi ini, namu sejak itu pula hubungan mereka dengan pemimpin pemerintahan mendingin. Masih diragukan apakah kaum Kurdistan percaya jika kepentingan mereka diangkat oleh Allawi. Aliansi Kurdistan menginginkan wilayah yang kuat, sementara Allawi menginginkan pemerintahan pusat yang kuat.

Peran kunci oleh Muqtada Al-Sadr

Orang yang juga dapat menentukan adalah Ulama Muqtada al Sadr. Dalam pemilihan umum, para pendukungnya telah mengambil keputusan yang tepat. Sadr dan Maliki sudah bertahun-tahun bertikai. Ghassan al-Attiyah, pengamat independent, memperkirakan perundingan pembentukan koalisi pemerintahan ini akan berlangsung lama.

"Kami warga Irak selalu mendapat kesulitan dalam mencapai kompromi. Selama tujuh tahun belakangan ini, terdapat banyak saat di mana kami berada di dalam jurang dan kemudian mundur lagi satu langkah."

Parlemen Irak yang baru ini sebenarnya sangat berwarna dan lebih mencerminkan keragaman penduduknya, dari parlemen yang sebelumnya. Para kandidat dianggap berhasil membangkitkan kepercayaan rakyat untuk menentang sektarianisme, campur tangan pihak luar dan mengkampanyekan pembentukan pemerintahan persatuan.

Dalam beberapa pekan ke depan, masih belum jelas bagaimana lanskap politik di Irak. Aliansi dan koalisi akan merombak komposisinya. Para anggota parlemen akan beralih kubu. Ini sudah terjadi pada parlemen periode sebelumnya. Koalisi-koalisi waktu itu hanyalah perhimpunan dengan agenda tertentu dan dalam pengertian negara barat, tidak ada partai yang punya program jelas secara ideologis.

Carsten Kühntopp/Luky Setyarini

Editor: Rizki Nugraha