1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Pesantren al-Hidayah Didik Putra Teroris Jauhi Faham Radikal

2 Agustus 2017

Bekas narapidana teror membangun pesantren untuk mendidik putra teroris agar tidak terpengaruh ideologi radikal. Mereka ditampung karena sering mengalami diksriminasi lantaran kejahatan orangtuanya.

https://p.dw.com/p/2hXUr
Symbolbild - Koran
Foto: Getty Images/AFP/M. Al-Shaikh

Seperti banyak pesantren lain di Sumatera, pesantren Al-Hidayah di Deliserdang didirikan ala kadarnya dengan bangunan sederhana dan ruang kelas terbuka beralas tanah.

Perbedaan paling mencolok justru bisa dilihat pada sosok Khairul Ghazali, pemimpin pondok yang merupakan bekas teroris. Dia pernah mendekam empat tahun di penjara setelah divonis bersalah ikut membantu pendanaan aktivitas terorisme.

Bersama Pesantren al-Hidayah Ghazali mengemban misi pelik. Ia menampung putra mantan jihadis dan bersumpah melindungi santri-santrinya dari pengaruh ideologi radikal. Radikalisme "melukai anak-anak kita yang tidak berdosa," ujar pria yang dibebaskan 2015 silam itu.

Saat ini Pesantren al-Hidayah menampung 20 putra bekas teroris. Sebagian pernah menyaksikan ayahnya tewas di tangan Densus 88. Beberapa harus hidup sebatang kara setelah ditinggal orangtua ke penjara.

Abdullah bersama kedua adiknya dikirim oleh sang ibu ke Pesantren al-Hidayah setelah kerap mengalami perundungan di sekolah. "Saya berhenti di kelas tiga dan harus hidup berpindah," ujarnya. "Saya dikatai sebagai anak teroris ketika ayah saya di penjara. Saya sangat sedih." Pengalaman tersebut berbekas pada bocah berusia 13 tahun itu. Suatu saat ia ingin menjadi guru agama.

"Ada banyak orang yang mengklaim mengetahui Islam tapi sebenarnya mereka tidak tahu apa itu Islam dan bagaimana mempraktikkannya."

Padahal sejak awal keberadaan Pesantren al-Hidayah banyak menuai amarah penduduk lokal. Mulai dari papan nama yang dibakar hingga laporan ke kepolisian, niat baik Ghazali dihadang prasangka warga.

Beruntung pesantrennya dilindungi oleh kepolisian karena menjadi bagian dari program deradikalisasi pemerintah. Al-Hidayah acap disambangi tokoh masyarakat, entah itu pejabat provinsi atau perwira militer dan polisi. Bahkan pejabat badan antiterorisme Belanda pernah menyambangi pesantren milik Ghazali buat menyimak strategi lunak Indonesia melawan radikalisme.

Namun keberadaan al-Hidayah ibarat setetes air di tengah gurun pasir. Menurut Ghazali saat ini terdapat lebih dari 2.000 putra atau putri jihadis yang telah terbunuh atau mendekam di penjara. Menurutnya mereka terancam terseret menjadi gerilayawan baru dalam jihadisme berdarah di Indonesia.

Sebab itu pemerintah membantu pembangunan pesantren baru di Lamongan, Jawa Timur, yang mampu menampung hingga 100 santri. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius menilai Ghazali "sepenuhnya berubah" dan telah kembali ke jalan yang benar. "Negara harus mendukungnya karena orang tidak menjadi radikal dalam sehari atau dua hari, tapi melalui pross panjang. Jadi program deradikalisasi juga butuh waktu yang lama," katanya.

rzn/ap (ap, kompas)