1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pidato Jokowi di KAA Disambut Meriah

Hendra Pasuhuk22 April 2015

Presiden Joko Widodo menyebut PBB tak berdaya mengatasi berbagai konflik dan ketimpangan global, antara lain konflik Israel-Palestina. Hal itu disampaikan Jokowi ketika membuka Konferensi Asia Afrika (KAA) di Jakarta.

https://p.dw.com/p/1FCDD
Joko Widodo Asien-Afrika Konferenz 2015
Foto: picture-alliance/dpa/XINHUA /LANDOV

Presiden Jokowi dalam pidato pembukaan Konferensi Asia Afrika di Jakarta hari Rabu (22/04/15) mengatakan, PBB tidak berdaya mengatasi berbagai konflik global saat ini dan untuk menghentikan aksi kekerasan di berbagai tempat, termasuk Palestina. Jokowi juga menyoroti makin besarnya ketimpangan antara negara berkembang dan negara miskin di dunia.

"Ratusan orang di belahan bumi Utara kaya raya, sedangkan 1,6 miliar orang di Selatan kelaparan. Makin kentara ketika PBB tidak berdaya. Kita bangsa-bangsa di Asia dan Afrika mendesak reformasi PBB," kata Jokowi ketika membuka acara Peringatan 60 tahun KAA di Jakarta Convention Center.

Dukung kemerdekaan Palestina

"Bagi saya, ketidakseimbangan global semakin menyesakkan dada," kata Jokowi. Dia juga meninggung soal konflik Israel-Palestina dan ketidakberdayaan dunia menyaksikan penderitaan rakyat Palestina.

"Kita tidak boleh berpaling dari penderitaan rakyat Palestina. Kita harus mendukung sebuah negara Palestina yang merdeka," kata Jokowi yang disambut tepuk tangan meriah hadirin yang hadir..

Japan Indonesiens Präsident Joko Widodo
Foto: Reuters/Y. Shino

Pembukaan sidang KAA kali ini dihadiri oleh 21 kepala negara dan kepala pemerintahan. Antara lain Presiden Cina Xi Jinping, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, dan Raja Jordania Abdullah II. Hadir juga delegasi dari 90 negara, diantaranya delegasi Korea Utara yang dipimpin oleh ketua Majelis Rakyat Korea Utara, Kim Jong-nam.

Menyimpang dari Dasasila Bandung

Namun kalangan pegiat HAM memberi penilaian kritis pada penampilan tuan rumah Indonesia dalam KAA. Wakil Indonesia di Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia, Rafendi Djamin mengatakan, Konferensi KAA di Bandung tahun 1955 dulu mengadopsi 10 prinsip, yang dikenal sebagai Dasasila Bandung. Salah satunya adalah menghormati hak asasi manusia.

"Indonesia ingin memimpin pada isu-isu ini tapi saya pikir ada masalah kredibilitas," kata Refendi kepada kantor berita AP. Dia menunjuk pada kecenderungan dunia dan Asia Tenggara saat ini untuk menghapus atau menghentikan eksekusi hukuman mati.

Sedangkan pemerintahan Jokowi bulan Januari lalu melaksanakan eksekusi mati gelombang pertama, dan dalam waktu dekat akan melakukan eksekusi mati gelombang kedua untuk terpidana mati narkoba. Ada sekitar 60 orang terpidana mati yang menurut rencana akan dieksekusi tahun ini. Ini akan menjadikan Jokowi sebagai presiden terpilih Indonesia yang paling banyak melaksanakan eksekusi mati.

Kehilangan semangat mencari kebenaran

Peneliti Human Rights Watch Indonesia Andreas Harsono mengatakan, ada yang hilang dalam KAA kali ini.

"Mereka kehilangan semangat mencari kebenaran dan rekonsiliasi," ujarnya. Padahal konferensi ini bisa menjadi momen yang tepat untuk mengumumkan moratorium hukuman mati.

Rangkaian acara peringatan Konferensi Asia Afrika akan diakhiri di Bandung, lokasi pertemuan bersejarah itu 60 tahun yang lalu.

hp/yf (dpa,rtr, ap)