1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

030411 Elfenbeinküste Massaker

4 April 2011

Laporan mengenai pembunuhan massal di Pantai Gading membayangi perebutan kekuasaan yang berlangsung di negara itu. Organisasi-organisasi internasional melaporkan, hampir 1000 orang tewas di bagian barat negara itu.

https://p.dw.com/p/10nEQ
Jalanan di Abidjan yang berubah menjadi medan pertempuranFoto: AP

Abidjan menahan nafas. Metropol di selatan Pantai Gading itu tampak bagaikan kota hantu. Listrik kerap terputus, ledeng tidak lagi mengucurkan air. Setelah kerusuhan hari-hari terakhir, banyak gedung hancur. Jalan-jalan kosong. Sesekali terdengar bunyi tembakan, pertanda bahaya terus mengancam. Setiap orang di Abidjan sadar bahwa pertempuran terakhir menunggu di ambang pintu. Karenanya mereka bersembunyi di dalam rumah, di balik pintu dan jendela yang dibarikade.

Seorang saksi mata menggambarkannya, "Kehidupan di kota, mati. Tak seorangpun berani ke jalanan, tidak ada taksi, tidak ada mobil. Kota ini diliputi sunyi yang betul-betul mengerikan."

Ternyata, bagi pasukan presiden terpilih, Alassane Ouattara, menghalau Laurent Gbagbo jauh lebih sulit dari yang semula diduga. Pasukan Gbagbo memang telah menciut hingga tinggal beberapa ribu orang, banyak yang menyeberang bergabung dengan Ouattara. Namun pendukung yang tersisa, siap membela Gbagbo sampai peluru yang terakhir. Ribuan orang menjaga istana negara bagaikan tameng hidup. Milisi Gbagbo juga telah merebut kembali televisi nasional RTI.

Itu bukti bahwa kekuasaan masih di tangan Gbagbo, ungkap seorang pendukung, "Televisi nasional telah diserang dan kami berhasil membebaskannya. Kami akan pertahankan, apapun ongkosnya. Ini adalah negara yang berdaulat. Siapa saja yang berani menyerang Pantai Gading, akan kami usir."

Ancaman tadi tidak hanya berlaku bagi pendukung Ouattara, melainkan bagi pasukan internasional yang bertugas melindungi rakyat Pantai Gading. Dalam serangan-serangan milisi Gbagbo akhir pekan ini, empat orang tentara helm biru ONUCI luka berat. Lebih dari 1.500 warga sipil asing kini berlindung di markas Perancis, Port-Bout, dan mulai diungsikan keluar dari bandara udara Abidjan yang dikuasai Pasukan Perancis Licorne.

Juru bicara Partai Republik, Joël-Célestin Tchétché, menyatakan rasa prihatin, bahwa rakyat menjadi korban perebutan kekuasaan ini, "Kami tidak ingin situasinya menjadi separah ini. Presiden Ouattara menentang kekerasan. Tapi ia tak punya pilihan lain, kecuali memerintahkan untuk menyerang Abidjan. Gbagbo harus pergi."

Kini pertempuran di Abidjan dibayangi pembunuhan massal di wilayah barat negeri. Organisasi-organisasi internasional melaporkan, hampir 1000 orang tewas termasuk perempuan dan anak-anak. Guillaume Ngefu, petugas HAM pada misi PBB mengatakan, kedua pihak melakukan pelanggaran. Ditegaskannya, pimpinan kedua pihak harus bisa mengendalikan pasukan, atau bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan, karena kejahatan ini tidak akan dibiarkan.

Alassane Ouattara kini telah meminta PBB untuk menyelidiki peristiwa itu. Tapi citra presiden terpilih Pantai Gading ini sudah tercoreng, tidak lagi dianggap sebagai orang bersih, pembebas negara dari kekerasan diktatur.

Alexander Göbel/Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk