1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pilkada 2018: Pertaruhan Jokowi di Tahun Politik

26 Desember 2017

Pilkada Serentak pada 2018 menjadi ancaman terbesar bagi masa jabatan kedua Joko Widodo. Ia terutama mengkhawatirkan kisruh politik layaknya pada Pilkada DKI Jakarta akan mengganggu pertumbuhan ekonomi.

https://p.dw.com/p/2pwqr
Indonesien Jakarta Anies Baswedan und Sandiaga Uno als Gouverneure eingeführt
Foto: Reuters/Beawiharta

Dengan bertelanjang kaki dan celana terlipat sebatas betis, Joko Widodo berjalan menyusuri pantai Kuta di Bali setelah letusan Gunung Agung. Pekan lalu Presiden sengaja melakukan kunjungan dadakan ke pulau dewata itu sebagai langkah terakhir menggairahkan pariwisata Bali yang surut pasca bencana.

Di tahun keempat kekuasaannya Jokowi semakin ambisius mewujudkan agenda ekonomi. Bali yang menyumbangkan 60% devisa negara dari sektor pariwisata harus menjadi tumpuan selama 10 destinasi wisata baru yang dicanangkan pemerintah masih merangkak mencari wisatawan.

"Setiap hari dia berpergian, luar biasa buat kami," kata Sektretaris Kabinet Pramono Anung seperti dikutip Nikkei Asian Review.

Sejauh ini pemerintah sudah membangun sekitar 3.000 km jalan, 568 km diantaranya berupa jalan tol trans Jawa dan Sumatera. Sebanyak 100 Bendungan akan terbangun hingga 2019, klaim Kepala Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Danis H. Sumadilaga kepada CNN Indonesia.

Meski pertumbuhan ekonomi yang masih bertengger di kisaran 5%, presiden boleh berpuas atas penilaian positif di mancanegara. Pada Indeks Kemudahan Berbisnis misalnya peringkat Indonesia melonjak dari posisi 120 di tahun 2014 menjadi 72 di 2017. Lembaga Pemeringkat Kredit, Fitch, juga mengikuti langkah Standard & Poor's, mendongkrak peringkat utang Indonesia menjadi BBB, sebuah pencapaian penting mengingat ambisi infrastruktur 2018 yang membutuhkan pinjaman segar senilai 62 milyar Dollar AS.

Sejauh ini kinerja pemerintahan Jokowi membuahkan tingkat kepuasan di atas 70% menurut survey Kompas dan Saiful Mujani Research Centre. Angka tersebut sebenarnya bakal mampu membawa setiap kepala negara menuju masa jabatan kedua. Hanya saja Indonesia sedang menuju tahun politik. Perhelatan demokrasi itu dikhawatirkan bisa menjadi bola liar buat Istana Negara, terutama mengingat hasil Pilkada DKI Jakarta 2017.

Tahun 2018 Pemilihan Kepala Daerah akan digelar secara serentak di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Di antaranya adalah lima provinsi dengan populasi terbanyak yang mewakili 133 juta penduduk di Jawa, Sumatera dan Sulawesi.

"Saya berharap, jangan sampai karena perhelatan politik, karena pilihan bupati, gubernur, presiden, menjadikan kita tak rukun," kata Jokowi merujuk pada Pilkada DKI Jakarta. "Kadang kita memamg terbawa oleh perasaan-perasaan..wuaduh...udahlah. Terus kita jaga kerukunan."       

Terlepas dari kepentingan politik, Jokowi terutama mengkhwatirkan prospek ekonomi Indonesia bakal menyusut jika Pilkada Serentak mendatangkan kekacauan.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, misalnya memprediksi pengusaha akan menunda investasi di tahun politik hingga situasi kondunsif. Perkiraan itu diamini oleh Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno. "Tahun politik buat pengusaha adalah tahun yang menurut saya harus waspada. Artinya, pasti ada semacam was-was, kehati-hatian siapa nanti yang akan memimpin, kalau memimpin dia akan melakukan apa," ujarnya kepada Kompas.

Untuk mencegah terulangnya perang fitnah seperti pada Pilkada DKI, Jokowi mulai merenggangkan otot terhadap pihak yang menjajakan berita palsu dan kabar bohong sebagai komoditas politik. Ia juga memberangus organisasi ekstremis Islam seperti HTI lewat UU Ormas yang baru. Tak kurang raksasa media sosial layaknya Facebook dan Twitter diajak bekerjasama memerangi sebaran berita hoax.

"Banyak yang bertanya pada saya, apa demokrasi kita keablasan? Saya jawab ya, demokrasi kita sudah kebablasan," kata Jokowi seperti dikutip Kompas. "Penyimpangan praktik itu mengambil bentuk nyata seperti kita lihat belakangan ini, politisasi SARA, saling memaki dan menghujat kalau diteruskan bisa menjurus pada memecah belah bangsa kita."

rzn/hp (kompas, detik, nikkei, cnn indonesia, tribun)