1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikUkraina

PLTN Zaporizhzhia: Apa yang Bakal Terjadi Jika Hancur?

Zulfikar Abbany
9 Mei 2023

Lebih dari setahun setelah invasi Rusia ke Ukraina, pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia tetap menjadi target utama dalam perang yang sedang berlangsung.

https://p.dw.com/p/4R3Yf
PLTN Zaporizhzhia
PLTN Zaporizhzhia yang ajdi target serangan RusiaFoto: Konstantin Mihalchevskiy/SNA/IMAGO

Pembangkit listrik Zaporizhzhia Ukraina adalah fasilitas nuklir terbesar di Eropa. PLTN itu juga merupakan pusat perang Rusia di Ukraina. Para ahli mengatakan jika fasilitas itu hancur, maka bisa menyebabkan bencana.

Rusia telah menguasai Zaporizhzhia sejak Maret 2022 dan daerah tersebut telah berulang kali diserang. Pada tanggal 7 Mei 2023, dilaporkan bahwa lebih dari 1.500 orang telah dievakuasi atas perintah Rusia — termasuk 600 anak atau lebih — dari 18 kota dan pemukiman di sekitar fasilitas energi atom.

Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, mengatakan bahwa "situasi umum di daerah dekat pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia menjadi semakin tidak terduga dan berpotensi berbahaya."

Dua bulan sebelumnya, pada Maret 2023, serangan rudal telah menyebabkan pemadaman di area fasilitas dan membuat pembangkit listrik berjalan dengan generator diesel darurat. Cadangan suplai energi itu sangat penting untuk mendinginkan bahan bakar reaktor di pembangkit dan mencegah kehancuran nuklir, yang akan melepaskan energi panas dan radiasi berbahaya ke atmosfer.

Nuklir menimbulkan dua ancaman dalam perang Rusia-Ukraina

Ketika orang berpikir tentang ancaman nuklir dan perang di Ukraina, sebagian besar kalangan mempertanyakan dua kemungkinan: Apa yang akan terjadi jika terjadi kehancuran di pembangkit nuklir Ukraina? Dan apa yang akan terjadi jika senjata nuklir dikerahkan?

Pembangkit listrik Zaporizhzhia Ukraina terletak di dekat perbatasan selatan negara itu. PLTN itu punya enam reaktor di lokasi. Pada tahun 2022, fasilitas ini menjadi pembangkit nuklir aktif pertama dalam sejarah yang terus beroperasi di tengah perang.

Ketika pasukan Rusia merebut pembangkit listrik itu pada Maret 2022, para ahli mencoba menimbang bagaimana potensi kecelakaan di sana dibandingkan dengan bencana Chernobyl tahun 1986 — sebuah peristiwa yang selama beberapa dekade menandai kecelakaan tenaga nuklir terburuk dalam sejarah. Kehancuran Chernobyl melepaskan radiasi ke seluruh Eropa, memengaruhi kehidupan manusia, tumbuhan, dan hewan di seluruh wilayah.

Lebih dari 30 pekerja pembangkit listrik meninggal dalam tiga bulan setelah bencana di pembangkit listrik Soviet, Chernobyl, sebagai akibat langsung dari krisis tersebut.

Sebuah laporan diterbitkan oleh Forum Chernobyl, sebuah kelompok badan PBB dibentuk pada tahun 2003 untuk menilai konsekuensi kesehatan dan lingkungan dari kecelakaan tersebut, menyebutkan pada tahun 2006 bahwa akibat insiden itu, diperkirakan setidaknya 4.000 kematian akibat kanker dalam jangka panjang, meskipun perkiraan tersebut  masih diperdebatkan.

Apakah para pejabat Soviet mencoba mengecilkan dampak Chernobyl?

Beberapa ahli mengatakan dampak bencana itu disembunyikan oleh pejabat Soviet dalam upaya untuk mengecilkan tingkat keparahannya. Salah satunya adalah profesor Institut Teknologi Massachusetts (MIT), Kate Brown.

Brown telah melakukan penelitian ekstensif tentang dampak radiasi terhadap kesehatan masyarakat di Ukraina dan negara-negara sekitarnya sejak kecelakaan tahun 1986.

Dalam laporan Greenpeace yang diterbitkan pada tahun 2006, para peneliti memperkirakan perkiraan jumlah kematian sekitar 90.000, hampir 23 kali jumlah yang disampaikan laporan Forum Chernobyl.

Edwin Lyman, seorang fisikawan dan Direktur Keamanan Tenaga Nuklir dengan Persatuan Ilmuwan Peduli Kemanana Nuklir yang bermarkas di AS, mengatakan bahwa dia, "tidak menganggap laporan Forum Chernobyl sebagai hal yang otoritatif."

Lyman mengatakan laporan Forum Chernobyl mendasarkan prediksi kematian akibat kanker hanya pada kasus-kasus di bekas Uni Soviet, mengabaikan paparan populasi di bagian lain Eropa dan belahan Bumi utara. Laporan dampak kesehatan Chernobyl asli yang dilakukan oleh badan-badan PBB dan diterbitkan pada tahun 1988, memang membahas paparan global terhadap radiasi sebagai respons terhadap kecelakaan tersebut dan diperkirakan pada akhirnya akan menyebabkan 30.000 atau lebih kematian akibat kanker, kata Lyman.

"Masalah mendasarnya adalah apakah seseorang percaya bahwa paparan tingkat rendah akan menyebabkan kanker atau tidak, dan konsensus para ahli di seluruh dunia adalah demikian adanya. Forum Chernobyl pada dasarnya berasumsi sebaliknya," katanya, menyebut penelitian itu sebagai "dokumen yang sangat politis dengan kesimpulan yang ditekankan secara hati-hati untuk meminimalkan dampak kecelakaan".

Studi yang mempelajari para penyintas bencana Chernobyl telah menunjukkan peningkatan kasus kanker tiroid. Dalam beberapa dekade setelah kecelakaan itu, para peneliti mendeteksi tingkat kondisi khusus itu pada orang muda di bekas Uni Soviet sekitar tiga kali lebih tinggi dari yang diperkirakan. Peningkatan ini sebagian disebabkan oleh konsumsi susu tercemar.

Namun, menurut Lyman, studi besar yang menguraikan risiko kanker secara keseluruhan diterbitkan pada awal tahun 2000-an, pada saat banyak kanker yang mungkin dipicu oleh bencana Chernobyl mungkin belum mulai muncul. Dan hampir 20 tahun kemudian, belum ada tindak lanjut yang komprehensif atas laporan ini. Laporan dampak kesehatan bencana juga mencatat tingginya tingkat depresi dan kecemasan pada penduduk sekitar.

Fukushima — sebuah perbandingan yang lebih jelas

Lyman mengatakan dampak apa pun dari kecelakaan di pembangkit listrik Zaporizhzhia akan lebih mirip dengan dampak bencana nuklir Fukushima 2011 di Jepang. "Konsekuensi yang menyebabkan penyebaran aktivitas radioaktif yang begitu besar dan luas [di Chernobyl] mungkin lebih kecil kemungkinannya terjadi pada reaktor di Zaporizhzhia, yang merupakan reaktor air ringan yang lebih mirip dengan reaktor di Jerman atau di tempat lain di Barat," dia berkata.

Kecelakaan nuklir di Fukushima menandai satu-satunya bencana yang dinilai dengan poin 'tujuh' pada Skala Peristiwa Nuklir Internasional IAEA. Tsunami dan gempa bumi yang kuat menyebabkan pembangkit listrik kehilangan daya, memicu tiga krisis nuklir, ledakan hidrogen, dan pelepasan radiasi yang ekstensif dari fasilitas tersebut.

Laporan resmi menyimpulkan bahwa meskipun banyak orang meninggal dalam tsunami dan gempa bumi, tidak ada yang meninggal akibat langsung dari insiden nuklir tersebut. Selain penyakit akibat radiasi yang dialami oleh orang-orang di sekitarnya, kata mereka, dampak kesehatan terbesar adalah tekanan psikologis yang dialami orang-orang di sekitarnya saat dievakuasi.

Di masa sekarang para peneliti mengatakan insiden Fukushima hanya meninggalkan jejak yang terabaikan pada lingkungan sekitarnya, karena sebagian besar radiasi dilepaskan ke laut terdekat. "Zaporizhzhia terkurung daratan, jadi itu tidak akan terjadi. Tapi tetap saja, Anda mungkin memperkirakan lebih sedikit bahan radioaktif yang dilepaskan dan tersebar lebih sedikit,” kata Lyman.

Lyman menambahkan bahwa tingkat radiasi yang dapat dilepaskan oleh potensi kecelakaan di Zaporizhzhia akan bergantung pada apakah kecelakaan itu bersifat teknis, seperti respons terhadap kehilangan daya fasilitas selama beberapa hari, atau terkait dengan pertempuran. Jika demikian sebabnya maka  radiasi akan terlepas lebih cepat. Dalam situasi seperti itu, tingkat keparahan konsekuensi apa pun mungkin berada di antara apa yang terjadi di Chernobyl dan apa yang terjadi di Fukushima, katanya. "Saya rasa kemungkinan peristiwa mirip Chernobyl lain yang memengaruhi Jerman lebih rendah," katanya. "Mungkin akan ada dampak yang terukur, tapi tidak sebesar yang dialami pada tahun 1986."

Zaporizhzhia menarik banyak perhatian saat berada di bawah kendali langsung Rusia. Namun, Lyman mengatakan dia juga prihatin dengan pembangkit listrik lain di Ukraina, termasuk yang tidak aktif di Chernobyl dan tiga lokasi aktif lainnya, yang lebih tua dari Zaporizhzhia. Itu membuat pembangkit-pembangkit listrik tersebut lebih rentan terhadap bencana kegagalan jika terjadi kecelakaan.

"Ada tiga pembangkit nuklir lain di Ukraina yang lebih dekat ke perbatasan barat. Jadi, mereka jauh dari garis depan, tapi masih dalam jangkauan tembakan roket atau drone Rusia,” kata Lyman.

Dia mengatakan bahwa meskipun tidak ada reaktor yang memiliki model yang sama dengan yang ada di Chernobyl, beberapa lainnya adalah reaktor air ringan Soviet yang lebih tua yang tidak akan tahan terhadap serangan seperti pembangkit listrik di Zaporizhzhia. "Jika hal-hal terurai, dan menjadi lebih terjangkau untuk diserang, hal itu bisa menjadi kekhawatiran yang lebih besar bagi Eropa Barat," katanya.

(ap/yf)

*Artikel ini awalnya diterbitkan pada 8 November 2022. Terakhir diperbarui pada 8 Mei 2023, untuk mencerminkan perkembangan perang Rusia-Ukraina dan tinjauan atas stabilitas pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia.