1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PM Najib: Malaysia Butuh Pemerintah Kuat

27 Maret 2013

Pemimpin Malaysia memperingatkan bahwa reformasi tidak bisa dilakukan dalam satu malam, sambil mengingatkan bahwa ekonomi negara itu bisa mundur jika kelompok yang berkuasa tidak memenangkan suara mayoritas mutlak.

https://p.dw.com/p/184pq
Foto: AP

Perdana Menteri Najib Razak mengingatkan bahwa berkurangnya kekuatan mayoritas di parlemen akan memperlemah upaya yang sedang dia lakukan untuk mengurangi defisit anggaran, meningkatkan investasi dan bahkan beresiko membuat dia kehilangan jabatan.

“Sebuah pemerintahan yang kuat kami butuhkan untuk mempercepat proses transformasi negara ini,” kata Najib yang juga merangkap sebagai menteri keuangan. Malaysia kini sedang bersiap menggelar pemilihan umum paling lambat bulan depan.

Pemerintah yang kuat

“Pemerintahan yang lemah artinya instabilitas dan ketidakpastian. Dan akan mengakibatkan negara sakit dalam skenario lima tahun mendatang, mengingat situasi ekonomi di luar yang akan berada antara lemah dan agak tidak menentu.”

Sambil mencoba meyakinkan rakyat Malaysia bahwa pemerintahannya bersifat “transformatif”, Najib yang berusia 59 tahun, menekankan pentingnya memberikan kesempatan kepada koalisi partai yang kini berkuasa.

Barisan Nasional yang berkuasa sedang menghadapi kekuatan aliansi oposisi yang dipimpin bekas wakil perdana menteri Anwar Ibrahim, yang menyatakan reformasi yang dilakukan Najib mandek dan karenanya menawarkan perubahan di Malaysia, setelah 56 tahun di bawah kekuasaan koalisi yang didominasi United Malays National Party (UMNO).

Koalisi Najib, yang terbantu oleh pertumbuhan ekonomi 5,6 persen tahun lalu, dijagokan bakal menang tipis atas kelompok oposisi. Perkiraan itu menimbulkan ketidakpastian mengenai hasil pemilu mendatang. Situasi yang membuat indeks harga saham Kuala Lumpur tercatat sebagai yang terburuk di Asia tahun ini.

Contoh revolusi Arab

“Jika anda mencoba melakukannya (reformasi-red) dalam semalam seperti yang sedang dilakukan beberapa negara, maka akan ada penurunan besar dalam ekonomi,” kata dia.

“Kita tidak mampu menanggung itu. Kita harus melakukan ekspansi secara halus dalam kebijakan namun bertanggungjawab secara fiskal,” kata Najib.

Defisit anggaran Malaysia turun ke angka 4,5 persen tahun lalu dari sebelumnya 6 persen saat Najib mulai menjabat. Utang Negara itu merangkak naik sekitar 53 persen dari GDP – hampir mendekati batas yang ditentukan yakni 55 persen – dari 43 persen pada tahun 2008.

Najib sering membanjiri hadiah kepada orang miskin Malaysia, kebijakan yang dilihat oleh lawan politiknya sebagai praktek pembelian suara secara terselubung. Tapi Najib membantah dan balik mengkritik rencana kelompok oposisi, termasuk membebaskan biaya kuliah, akan memperparah defisit anggaran.

“Kata perubahan telah sangat sering disalahgunakan. Sebagaimana yang anda tahu dengan revolusi Arab, tidak ada untungnya,“ kata Najib.

Ekonomi berdasarkan ras

Ketika naik ke kekuasaan, Najib mempertaruhkan peruntungan lewat serangkaian langkah reformasi dengan tujuan mendorong pertumbuhan, meningkatkan transparansi dan membongkar kebijakan yang hanya berpihak kepada kelompok etnis mayoritas Melayu.

Selama ini, Malaysia menjalankan kebijakan afirmasi dalam ekonomi, dengan lebih memberi kesempatan kepada pengusaha bumi putra (Melayu-red). Kebijakan ekonomi berdasar ras ini banyak dikritik dan membuat etnik minoritas Cina dan India terpinggirkan.

Najib mengatakan bahwa kini sebagian besar kontrak-kontrak pemerintah dilakukan melalui sebuah tender terbuka dan belanja pemerintah kini semakin didasarkan oleh kebutuhan bukan lagi oleh ras.

AB/ HP (rtr/ap/afp)