1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Poboya yang Mengiris Hati

23 Februari 2011

Kabar dari kawasan Poboya, yang terletak di Palu, Sulawesi Tengah kian mengiris hati. Pertambangan emas rakyat yang luasnya tidak kurang dari 35 ribu hektar itu, kian menggundul.

https://p.dw.com/p/10OTk
SulawesiFoto: AP

Padahal dulunya savana dan tutupan semak, serta pepohonan rimbun menghijaukan bukit-bukit di belahan timur Kota Palu itu. Setelah pertambangan emas merajalela, pemandangan indah sebelumnya, berganti rupa menjadi serakan batu gunung dan timbunan pasir.

Sementara itu, penggunaan zat kimia berupa mercuri dan sianida untuk menambang emas mengancam sumber air warga kota juga ternak yang dipelihara di sekitar kawasan itu. Kawasan itu dimiliki anak perusahaan pebisnis dan politisi Partai Golkar Aburizal Bakrie, Bumi Resource yang bernama PT Citra Palu Mineral.

Kilau emas Poboya, menyilaukan mata. Daya tariknya mengundang migrasi penduduk dari berbagai daerah. Setiap harinya, ribuan penambang naik ke Pegunungan Poboya, untuk mencoba peruntungan mereka. Mereka masuk ke dalam liang tambang berkedalaman sekitar 15 hingga 20 meter ke bawah untuk mengambil bebatuan yang dikenal sebagai fire- reef atau batu api yang mengandung serat emas. Para penambang seolah tak peduli walau nyawa taruhannya. Seperti pengalaman Wahyu yang baru setahun menambang emas yang diceritakannya kepada korensponden kami, Erna Lidiawati : „Berapa jam dilubang itu? Kadang satu malam. Oksigen biasanya kurang terus pakai apa? Kalau di dalam itu tidak ada. Kecuali lubang belum tembus kan belum ada tembusan kalau sudah dapat reef ka nada celah-celahnya batu. Tidak ada cahaya Cuma celah-celah batu sudah kayak ada angin-angin begitu. Pengap tidak di dalam itu? Panas Bu. “

Awalnya nama Poboya belumlah terkenal seperti sekarang ini. Mata pencaharian masyarakat Poboya dan sekitarnya dulu hanyalah beternak domba, pengumpul rotan dan petani bawang. Mendulang emas dilakukan warga jika ada waktu senggang dan hal ini sudah berlangsung puluhan tahun. Namun sejak masuknya teknologi tromol, mesin pemisah biji emas tradisional pada 2009 lalu, Poboya berubah menjadi tanah harapan. Warga berputar haluan menjadi penambang emas. Ahmad salah seorang pengusaha tromol menjelaskan proses penghancuran batu api yang mengandung serat emas: „Jadi material yang dari karung itu mereka bawa masuk dulu, ditumbuk dulu, baru dihaluskan dan halusnya isi di tromol. Jadi ini belum ada sianida? Belum ada kalau di tromol belum ada sianida itu baru nanti di tong baru ada untuk memisahkan emas dengan limbah itu.“

Zat kimia berbahaya seperti mercuri dan sianida seperti menjadi kebutuhan pokok masyarakat penambang untuk mendapatkan emas. Untuk membeli satu kilogram mercuri, mereka harus merogoh kocek sebesar 800 ribu rupiah, sedangkan sianida per lima belas kilogram dijual dengan harga 5,5 juta rupiah. Ribuan kilogram mercuri yang sudah dilepaskan ke udara sejak 2009-2011 berdampak serius pada kesehatan. Hasil Survey Dinas Kesehatan Kota Palu, menemukan adanya gejala penyakit kulit. Ketut Suarayasa, kepala bidang Pengendalian Masalah Kesehatan memaparkan: “Dampaknya khusus buat pekerja adalah tangan mereka sering tidak menggunakan sarung tangan. Sementara air pengolahan itu mereka pegang mereka peras. Sehingga dampak yang pertama jelas ke kulit bisa. Ke kulit maka jangka panjang bisa menimbulkan gangguan kulit. Mungkin gejala paling ringan adalah dermatitis, macam radang pada kulit enfeksi dan sebagainya. Nah data hasil kesehatan puskesmas Singgani penyakit dermatitis menempati urutan kedua. No satu masih ispa. Tapi saya tidak ingin mengatakan bahwa penyakit kulit di sana di pekerja diakibatkan oleh dampak dari penggunaan mercury atau bahan berbahaya karena ini perlu survey ilmiah. Tapi kalau dari korelasi analisa data berdasarkan data tren penyakit yang tadinya penyakit kulit tidak sampai 5 besar dia hanya 10 besar kok sekarang tiba-tiba naik.”

Pemerintah Kota Palu membantah dampak negatif dari penggunaan bahan-bahan berbahaya seperti mercuri dan mengatakan dampak tersebut sudah diminimalisisasi. Wakil Walikota Palu, Mulhanan Tombolotutu: "Kedepan kita inginkan bahwa yang namanya mercury dan lain sebagaimanya itu kalau bisa dikurangi. Nah System pengolahan yang tidak menggunakan mercury itulah yang kita perkenalkan dengan masyarakat. Dari hasil kajian-kajian itu lebih ramah lingkungan itu sianida dibanding dengan mercury, mercury ini yang harus dibatasi penggunaannya."

Namun laporan Wahana Lingkungan atau Walhi Sulawesi Tengah menunjukan tidak kurang 240.000 kg merkuri sudah dilepaskan ke lingkungan setempat selama tahun 2009-2010. Ditambah lagi kemudian sekitar 307 tong sianida sudah dibangun di kawasan itu. Berikut Direktur Walhi Sulteng, Wilianita Selviana: „Kalau saya melihat ini kesalahan pemda. Nah ketika awal operasi ini kan mereka tidak punya inisyatif untuk melakukan pencegahan sebelum meluasnya aktifitas pertambangan, sebelum banyaknya orang datang ke Poboya. Tapi begitu aktifitasnya sudah mulai banyak dan menimbulkan dampak lingkungan dan social yang massif mereka seolah-olah angkat bendera putih menyerah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi selama Poboya tidak diurusi oleh pemda kondisinya masih seperti ini dan makin mengancam.“


Erna Lidiawati

Editor : Ayu Purwaningsih